Take Home Exam Manajemen Pendidikan Berbasis Multibudaya

ULANGAN TENGAH SEMESTER
Mata Kuliah Manajemen Pendidikan Berbasis Multibudaya

Disusun oleh:
Siska Wiliandini (1100275)

Tim Dosen:
Dr. Dedi Achmad Kurniady, M.Pd
Cepi Triatna, M.Pd
Iik Nurul Paik, M.Pd

JURUSAN ADMINISTRASI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2014
A. Teori Pendidikan menurut beberapa Aliran
1. Teori Pendidikan menurut Aliran Empirisme
Dalam buku Landasan Pendidikan yang ditulis oleh M. Sukardjo dan Ukim Komarudin (2009, Hal 19) bahwa yang dimaksud dengan aliran empirisme dalam pendidikan adalah aliran yang mementingkan stimulasi eksternal dalam perkembangan manusia. Aliran ini pun menyatakan bahwa perkembangan anak tergantung pada lingkungan.
Tokoh utama aliran ini adalah filsuf Inggris bernama John Lock yang mengembangkan paham rasionalisme pada abad ke 18.
Menurut pandangan Empirisme atau yang dikenal juga dengan sebutan environmentalisme, pendidikan memegang peranan penting sebab pendidik menyediakan lingkungan yang sangat ideal kepada anak-anak.
Jadi dapat disimpulkan bahwa teori pendidikan menurut aliran empirisme ini sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh lingkungan. Lingkungan yang dibentuk oleh pendidik dengan baik maka akan menghasilkan pengalaman yang baik juga pada anak, dan begitu pula sebaliknya.

2. Teori Pendidikan menurut Aliran Nativisme
Menurut bahasa latin, nativs berarti terlahir. Dalam buku Landasan Pendidikan karya M. Sukardjo dan Ukim Komarudin (2009, Hal 23) seorang filsuf Jerman Schopenhauer (1788-1860) mengatakan bahwa anak-anak yang lahir ke dunia sudah memiliki pembawaan atau bakatnya yang akan berkembang menurut arahnya masing-masing.
Menurut paham ini juga, keberhasilan pendidikan anak ditentukan oleh anak itu sendiri.
Pandangan nativisme menekankan kemampuan dalam diri anak, dengan begitu faktor lingkungan dan faktor pendidikan kurang berpengaruh terhadap anak.
Maka dapat disimpulkan bahwa teori pendidikan aliran nativisme ini bertentangan dengan teori pendidikan aliran empirisme, di mana menurut teori ini anak tubuh dan berkembang tidak dipengaruhi oleh lingkungan pendidikan, melainkan setiap anak akan berkembang sesuai pembawaannya.

3. Teori Pendidikan menurut Aliran Konvergensi
Konvergensi memiliki arti titik pertemuan. Pelopor dari aliran ini adalah William Stern (1871-1939) yakni seorang ahli jiwa berkebangsaan Jerman. Dalam buku Landasan Pendidikan yang ditulis oleh M. Sukardjo dan Ukim Komarudin (2009, Hal 30) dikatakan bahwa aliran ini berpandangan bahwa seseorang terlahir dengan pembawaan baik dan buruk dan faktor lingkungan dan pendidikan akan sangat mempengaruhinya.
Maka dapat disimpulkan bahwa teori pendidikan aliran konvergensi merupakan paham yang menggabungkan antara pembawaan sejak lahir dan lingkungan yang menyebabkan anak mendapatkan pendidikan.

4. Teori Pendidikan menurut Aliran Naturalisme
Paham naturalisme dipelopori oleh sorang filsuf Prancis J.J Rousseau. Nature dalam bahasa latn memiliki arti alam. Rousseaue berpendapat setiap anak yang baru dilahirkan pada hakikatnya memiliki pembawaan baik, namun pembawaan baik yang terdapat pada anak akan berubah karena dipengaruhi oleh lingkungan dan biarkan anak berkembang secara alami, dikutip dari buku Landasan Pendidikan karya M. Sukardjo dan Ukim Komarudin (2009, Hal: 27).
Maka dapat disimpulkan bahwa teori pendidikan aliran naturalisme berpandangan bahwa pendidikan yang direncanakan tidak begitu penting karena alam lah yang akan membantu perkembangan anak secara wajar.

5. Teori Kognitivisme
Tokoh dalam teori pendidikan aliran kognitivisme adalah Peaget, Bruner dan Ausebel. Teori ini memiliki asumsi bahwa pengetahuan seseorang diperoleh berdasarkan pemikiran. Menurut M. Sukardjo dan Ukim Komarudin dalam bukunya yang berjudul Landasan Pendidikan (2009, Hal 50) bahwa aliran kognitivisme lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Aliran ini menjelaskan bagaimana belajar terjadi dan menjelaskana secara alami kegiatan mental internal dalam diri kita.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa aliran kognitivisme merupakan aliran yang menekankan pada proses belajar, memandang kemampuan anak dalam menafsirkan kejadian dalam lingkungan.

6. Teori Konstruktivisme
Menurut teori konstruktivisme, yang menjadi dasar adalah bahwa siswa memperoleh pengetahuan adalah karena keaktifan siswa itu sendiri. Dalam buku Landasan Pendidikan yang ditulis oleh M. Sukardjo dan Ukim Komarudin (2009, Hal 55) yang dimaksud dengan konsep pembelajaran menurut aliran konstruktivisme yaitu suatu proses pembelajaran yang mengondisikan siswa untuk melakukan proses aktif membangun konsep baru, pengertian baru, dan pengetahuan baru berdasarkan data.
Maka, dengan begitu dapat disimpulkan bahwa teori konstruktivisme dalam pendidikan mengharuskan pembelajaran dirancang dengan baik, agar anak mampu mengorganisasi pengalamannya sendiri dalam menemukan pengetahuan.

7. Teori Humanistik
M. Sukardjo dan Ukim Komarudin (2009, Hal 56) dalam bukunya yang berjudul Landasan Pendidikan memaparkan bahwa teori belajar yang humanistic pada dasarnya memiliki tujuan belajar untuk memanusiakan manusia. Menurut aliran ini, para pendidik sebaiknya melihat kebutuhan yang lebih tinggi dan merencanakan pendidikan dan kurikulum untuk memenuhi kebutuhan ini.
Maka dapat disimpulkan bahwa teori humanistik merupakan teori belajar atau teori pendidikan yang menekankan bahwa anak atau manusia memiliki keinginan untuk berkembang dan menjadi manusia yang lebih baik lagi.
Adapun prinsip-prinsip belajar humanistik yang dijelaskan dalam buku Landasan Pendidikan adalah sebagai berikut:
1. Manusia mempunyai belajar alami;
2. Belajar signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan;
3. Siswa mempunyai relevansi dengan maksud tertentu;
4. Belajar menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya;
5. Tugas belajar yang mengancam diri lebih mudah dirasakan apabila ancaman itu kecil;
6. Bila ancaman itu rendah terdapat pengalaman siswa dalam memperoleh cara belajar yang bermakna diperoleh jika siswa melakukannya;
7. Belajar akan lancer jika siswa dilibatkan dalam proses belajar;
8. Belajar yang melibatkan siswa seutuhnya dapat memberikan hasil yang mendalam;
9. Kepercayaan pada diri siswa ditumbuhkan dengan membiasakan untuk mawas diri;
10. Belajar sosial adalah belajar mengenai proses belajar.

8. Teori Behaviorisme
Kerangka dasar dari teori behaviorisme adalah empirisme. Aliran behavioris didasarkan pada tingkah laku yang dapat diamati. Menurut M. Sukardjo dan Ukim Komarudin dalam bukunya yang berjudul Landasan Pendidikan (2009, Hal 34) dijelaskan bahwa aliran ini berusaha mencoba menerangkan dalam pembelajaran bagaimana lingkungan berpengaruh terhadap perubahan tingkah laku. Tingkah laku dalam belajar akan berubah kalau ada stimulus dan respons. Maka dapat disimpulkan bahwa aliran behaviorisme merupakan teori pendidikan yang menekankan pada tingkah laku anak yang dapat dipengaruhi oleh proses pendidikan. tokoh aliran ini di antaranya: Ivan Petrovich Pavlop, Watson, Skinner, Hull, Guthrie dan Thorndike.
Berdasarkan teori pendidikan menurut beberapa aliran yang telah dikemukakan oleh para filsuf tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia memiliki karakteristik yang unik dibandingkan dengan Negara yang lainnya menganut teori pendidikan yang mengarah pada perkembangan anak yang positif. Terlebih lagi Indonesia menganut aliran pancasilais dalam menanamkan nilai-nilai dalam proses pendidikan. Dengan keanekaragaman budaya yang dimiliki Indonesia, maka sudah tentu tumbuh kembang pendidikan multikulturalisme sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan warga Negara terhadap pendidikan.

B. Keadaan yang terjadi apabila masyarakat hidup tanpa pendidikan dan peranan sekolah dalam masyarakat
Pendidikan berfungsi sebagai “agent of change” dalam masyarakat. Perubahan yang lebih baik dalam masyarakat mustahil terjadi tanpa adanya pendidikan. Masyarakat yang madani mungkin merupakan masyarakat yang diimpikan oleh semua Negara. Dengan masyarakat yang madani, maka akan menciptakan suatu Negara yang tertib, aman dan tentram serta damai. Tentunya bukanlah hal yang mudah membentuk masyarakat yang madani. Hanya dengan pendidikanlah masyarakat dapat berubah menjadi masyarakat yang madani. Masyarakat yang mandiri, baik secara ekonomi maupun kesejahteraan hidupnya. Masyarakat tanpa pendidikan akan menyebabkan krisis dalam segala bidang. Bagaimana mungkin masyarakat dapat hidup sejahtera bila tidak dengan melalui pendidikan. Dengan begitu, keadaan yang terjadi apabila masyarakat hidup tanpa pendidikan adalah kekacauan. Hal ini dikarenakan pendidikan merupakan upaya untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat, mengembangkan potensi yang dimiliki dan mengembangkan kemampuan mengamalkan nilai-nilai baik yang dimiliki. Maka dari itu, masyarakat tanpa pendidikan hanya akan menghasilkan kehidupan yang tidak berarti. Sedangkan peranan sekolah dalam masyarakat sangat penting. Hal ini dikarenakan dalam tataran masyarakat dibutuhkan suatu lingkungan pendidikan formal yang dapat membantu meringankan kewajiban orang tua dalam mendidik anaknya. Dikatakan suatu lingkungan pendidikan formal dikarenakan sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang didirikan baik oleh pemerintah maupun oleh yayasan atau masyarakat. Peran sekolah dalam masyarakat adalah sebagai wahana bersosialisasi dengan anggota masyarakat lainnya, khususnya bagi anak usia sekolah, umumnya bagi masyarakat sekitar. Orang tua atau masyarakat akan terbantu dengan adanya sekolah. Menurut Ade Suherman dalam situs blognya yang dapat dilihat di alamat http://adesuherman.blogspot.com/2011/10/peran-masyarakat-terhadap-pendidikan.html:
Dalam konsep pendidikan diperlukan kerja sama antara sekolah dan masyarakat yang dimulai dengan komunikasi. Dalam komunikasi satu sama lain diperlukan inisiatif dari kedua belah pihak. Komunikasi interaktif menempatkan semua pihak sama penting. diharapkan mampu menyampaikan pesan yang berhubungan dengan kebutuhan belajar anak.

Sehingga sekolah tidak dapat dilepaskan peranannya terhadap masyarakat begitu pula sebaliknya, masyarakat sangat berperan terhadap terselenggaranya pendidikan di sekolah.

C. Tantangan Budaya dalam lingkup organisasi (perbedaan, nilai-nilai dan etika) pendidikan dan cara pengembangannya
Dalam organisasi pendidikan para penyelenggara pendidikan sebaiknya memahami keragaman budaya atau yang dikenal dengan sebutan multikultural. Hal ini dikarenakan masyarakat yang singgah di suatu wilayah pada kenyataannya bukan hanya saja penduduk setempat, melainkan penduduk yang kemungkinan berasal dari berbagai daerah yang tentunya memiliki budaya yang tidak sama dengan daerah setempat. Untuk itu tantangan budaya dalam lingkup suatu organisasi pendidikan menjadi semakin besar dengan semakin banyaknya penduduk pendatang pada suatu daerah. Tantangan budaya tersebut tercermin dalam beberapa hal, yakni dalam perbedaan cara pandang, nilai-nilai, juga etika.
Perbedaan ini seyogyanya harus mampu dikreasikan supaya perbedaan yang ada tidak memicu suatu konflik antarbudaya dalam organisasi. Khususnya organisasi pendidikan, yang mana seharusnya lembaga pendidikan mampu mengarahkan seluruh anggota organisasi agar memiliki budi pekerti yang luhur sesuai dengan cerminan tujuan pendidikan nasional. Anggota organisasi harus memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungannya, memiliki rasa toleransi yang tinggi, tidak egois, tanpa meninggalkan nilai-nilai yang dianutnya atau yang diyakininya. Cara untuk mengembangkan nilai-nilai dan etika dalam organisasi pendidikan adalah dimulai dengan cara pemodelan. Pemimpin memiliki peranan penting dalam hal menjadi suri tauladan yang baik atau yang sering disebut dengan istilah role model. Pemimpin harus mampu merepresentasikan bagaimana sikap saling menghargai budaya yang beragam dalam organisasi. Selain itu, pembuatan peraturan pun dapat menegaskan hal yang berkaitan dengan etika organisasi. Artinya perilaku atau hal-hal yang baik dan buruk disampaikan secara jelas agar anggota organisasi memahami etika dalam bekerja di lingkungan organisasi yang berbasis multibudaya. Dalam bidang pendidikan, Kepala sekolah, guru dan staf sekolah memiliki peranan penting dalam menjadi teladan bagi para peserrta didik. Peserta didik semestinya diteladani dengan hal-hal yang baik terkait keberadaan budaya lain di lingkungannya. Selain itu cara untuk mengembangkannya adalah dengan diadakannya pendidikan dan pelatihan bagi anggota organisasi dalam memahami nilai yang diharapkan oleh organisasi meskipun mereka dari berasal dari berbagai macam budaya.
Referensi
Sukardjo, M dan Komarudin, Ukim. (2009). Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya. Depok: PT RAJAGRAFINDO PERSADA
Suherman, Ade. 2011. Peran Masyarakat terhadap pendidikan. [Online]: Tersedia: http://adesuherman.blogspot.com/2011/10/peran-masyarakat-terhadappendidikan.html
ULANGAN TENGAH SEMESTER
Mata Kuliah Manajemen Pendidikan Berbasis Multibudaya

Disusun oleh:
Siska Wiliandini (1100275)

Tim Dosen:
Dr. Dedi Achmad Kurniady, M.Pd
Cepi Triatna, M.Pd
Iik Nurul Paik, M.Pd

JURUSAN ADMINISTRASI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2014
A. Teori Pendidikan menurut beberapa Aliran
1. Teori Pendidikan menurut Aliran Empirisme
Dalam buku Landasan Pendidikan yang ditulis oleh M. Sukardjo dan Ukim Komarudin (2009, Hal 19) bahwa yang dimaksud dengan aliran empirisme dalam pendidikan adalah aliran yang mementingkan stimulasi eksternal dalam perkembangan manusia. Aliran ini pun menyatakan bahwa perkembangan anak tergantung pada lingkungan.
Tokoh utama aliran ini adalah filsuf Inggris bernama John Lock yang mengembangkan paham rasionalisme pada abad ke 18.
Menurut pandangan Empirisme atau yang dikenal juga dengan sebutan environmentalisme, pendidikan memegang peranan penting sebab pendidik menyediakan lingkungan yang sangat ideal kepada anak-anak.
Jadi dapat disimpulkan bahwa teori pendidikan menurut aliran empirisme ini sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh lingkungan. Lingkungan yang dibentuk oleh pendidik dengan baik maka akan menghasilkan pengalaman yang baik juga pada anak, dan begitu pula sebaliknya.

2. Teori Pendidikan menurut Aliran Nativisme
Menurut bahasa latin, nativs berarti terlahir. Dalam buku Landasan Pendidikan karya M. Sukardjo dan Ukim Komarudin (2009, Hal 23) seorang filsuf Jerman Schopenhauer (1788-1860) mengatakan bahwa anak-anak yang lahir ke dunia sudah memiliki pembawaan atau bakatnya yang akan berkembang menurut arahnya masing-masing.
Menurut paham ini juga, keberhasilan pendidikan anak ditentukan oleh anak itu sendiri.
Pandangan nativisme menekankan kemampuan dalam diri anak, dengan begitu faktor lingkungan dan faktor pendidikan kurang berpengaruh terhadap anak.
Maka dapat disimpulkan bahwa teori pendidikan aliran nativisme ini bertentangan dengan teori pendidikan aliran empirisme, di mana menurut teori ini anak tubuh dan berkembang tidak dipengaruhi oleh lingkungan pendidikan, melainkan setiap anak akan berkembang sesuai pembawaannya.

3. Teori Pendidikan menurut Aliran Konvergensi
Konvergensi memiliki arti titik pertemuan. Pelopor dari aliran ini adalah William Stern (1871-1939) yakni seorang ahli jiwa berkebangsaan Jerman. Dalam buku Landasan Pendidikan yang ditulis oleh M. Sukardjo dan Ukim Komarudin (2009, Hal 30) dikatakan bahwa aliran ini berpandangan bahwa seseorang terlahir dengan pembawaan baik dan buruk dan faktor lingkungan dan pendidikan akan sangat mempengaruhinya.
Maka dapat disimpulkan bahwa teori pendidikan aliran konvergensi merupakan paham yang menggabungkan antara pembawaan sejak lahir dan lingkungan yang menyebabkan anak mendapatkan pendidikan.

4. Teori Pendidikan menurut Aliran Naturalisme
Paham naturalisme dipelopori oleh sorang filsuf Prancis J.J Rousseau. Nature dalam bahasa latn memiliki arti alam. Rousseaue berpendapat setiap anak yang baru dilahirkan pada hakikatnya memiliki pembawaan baik, namun pembawaan baik yang terdapat pada anak akan berubah karena dipengaruhi oleh lingkungan dan biarkan anak berkembang secara alami, dikutip dari buku Landasan Pendidikan karya M. Sukardjo dan Ukim Komarudin (2009, Hal: 27).
Maka dapat disimpulkan bahwa teori pendidikan aliran naturalisme berpandangan bahwa pendidikan yang direncanakan tidak begitu penting karena alam lah yang akan membantu perkembangan anak secara wajar.

5. Teori Kognitivisme
Tokoh dalam teori pendidikan aliran kognitivisme adalah Peaget, Bruner dan Ausebel. Teori ini memiliki asumsi bahwa pengetahuan seseorang diperoleh berdasarkan pemikiran. Menurut M. Sukardjo dan Ukim Komarudin dalam bukunya yang berjudul Landasan Pendidikan (2009, Hal 50) bahwa aliran kognitivisme lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Aliran ini menjelaskan bagaimana belajar terjadi dan menjelaskana secara alami kegiatan mental internal dalam diri kita.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa aliran kognitivisme merupakan aliran yang menekankan pada proses belajar, memandang kemampuan anak dalam menafsirkan kejadian dalam lingkungan.

6. Teori Konstruktivisme
Menurut teori konstruktivisme, yang menjadi dasar adalah bahwa siswa memperoleh pengetahuan adalah karena keaktifan siswa itu sendiri. Dalam buku Landasan Pendidikan yang ditulis oleh M. Sukardjo dan Ukim Komarudin (2009, Hal 55) yang dimaksud dengan konsep pembelajaran menurut aliran konstruktivisme yaitu suatu proses pembelajaran yang mengondisikan siswa untuk melakukan proses aktif membangun konsep baru, pengertian baru, dan pengetahuan baru berdasarkan data.
Maka, dengan begitu dapat disimpulkan bahwa teori konstruktivisme dalam pendidikan mengharuskan pembelajaran dirancang dengan baik, agar anak mampu mengorganisasi pengalamannya sendiri dalam menemukan pengetahuan.

7. Teori Humanistik
M. Sukardjo dan Ukim Komarudin (2009, Hal 56) dalam bukunya yang berjudul Landasan Pendidikan memaparkan bahwa teori belajar yang humanistic pada dasarnya memiliki tujuan belajar untuk memanusiakan manusia. Menurut aliran ini, para pendidik sebaiknya melihat kebutuhan yang lebih tinggi dan merencanakan pendidikan dan kurikulum untuk memenuhi kebutuhan ini.
Maka dapat disimpulkan bahwa teori humanistik merupakan teori belajar atau teori pendidikan yang menekankan bahwa anak atau manusia memiliki keinginan untuk berkembang dan menjadi manusia yang lebih baik lagi.
Adapun prinsip-prinsip belajar humanistik yang dijelaskan dalam buku Landasan Pendidikan adalah sebagai berikut:
1. Manusia mempunyai belajar alami;
2. Belajar signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan;
3. Siswa mempunyai relevansi dengan maksud tertentu;
4. Belajar menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya;
5. Tugas belajar yang mengancam diri lebih mudah dirasakan apabila ancaman itu kecil;
6. Bila ancaman itu rendah terdapat pengalaman siswa dalam memperoleh cara belajar yang bermakna diperoleh jika siswa melakukannya;
7. Belajar akan lancer jika siswa dilibatkan dalam proses belajar;
8. Belajar yang melibatkan siswa seutuhnya dapat memberikan hasil yang mendalam;
9. Kepercayaan pada diri siswa ditumbuhkan dengan membiasakan untuk mawas diri;
10. Belajar sosial adalah belajar mengenai proses belajar.

8. Teori Behaviorisme
Kerangka dasar dari teori behaviorisme adalah empirisme. Aliran behavioris didasarkan pada tingkah laku yang dapat diamati. Menurut M. Sukardjo dan Ukim Komarudin dalam bukunya yang berjudul Landasan Pendidikan (2009, Hal 34) dijelaskan bahwa aliran ini berusaha mencoba menerangkan dalam pembelajaran bagaimana lingkungan berpengaruh terhadap perubahan tingkah laku. Tingkah laku dalam belajar akan berubah kalau ada stimulus dan respons. Maka dapat disimpulkan bahwa aliran behaviorisme merupakan teori pendidikan yang menekankan pada tingkah laku anak yang dapat dipengaruhi oleh proses pendidikan. tokoh aliran ini di antaranya: Ivan Petrovich Pavlop, Watson, Skinner, Hull, Guthrie dan Thorndike.
Berdasarkan teori pendidikan menurut beberapa aliran yang telah dikemukakan oleh para filsuf tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia memiliki karakteristik yang unik dibandingkan dengan Negara yang lainnya menganut teori pendidikan yang mengarah pada perkembangan anak yang positif. Terlebih lagi Indonesia menganut aliran pancasilais dalam menanamkan nilai-nilai dalam proses pendidikan. Dengan keanekaragaman budaya yang dimiliki Indonesia, maka sudah tentu tumbuh kembang pendidikan multikulturalisme sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan warga Negara terhadap pendidikan.

B. Keadaan yang terjadi apabila masyarakat hidup tanpa pendidikan dan peranan sekolah dalam masyarakat
Pendidikan berfungsi sebagai “agent of change” dalam masyarakat. Perubahan yang lebih baik dalam masyarakat mustahil terjadi tanpa adanya pendidikan. Masyarakat yang madani mungkin merupakan masyarakat yang diimpikan oleh semua Negara. Dengan masyarakat yang madani, maka akan menciptakan suatu Negara yang tertib, aman dan tentram serta damai. Tentunya bukanlah hal yang mudah membentuk masyarakat yang madani. Hanya dengan pendidikanlah masyarakat dapat berubah menjadi masyarakat yang madani. Masyarakat yang mandiri, baik secara ekonomi maupun kesejahteraan hidupnya. Masyarakat tanpa pendidikan akan menyebabkan krisis dalam segala bidang. Bagaimana mungkin masyarakat dapat hidup sejahtera bila tidak dengan melalui pendidikan. Dengan begitu, keadaan yang terjadi apabila masyarakat hidup tanpa pendidikan adalah kekacauan. Hal ini dikarenakan pendidikan merupakan upaya untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat, mengembangkan potensi yang dimiliki dan mengembangkan kemampuan mengamalkan nilai-nilai baik yang dimiliki. Maka dari itu, masyarakat tanpa pendidikan hanya akan menghasilkan kehidupan yang tidak berarti. Sedangkan peranan sekolah dalam masyarakat sangat penting. Hal ini dikarenakan dalam tataran masyarakat dibutuhkan suatu lingkungan pendidikan formal yang dapat membantu meringankan kewajiban orang tua dalam mendidik anaknya. Dikatakan suatu lingkungan pendidikan formal dikarenakan sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang didirikan baik oleh pemerintah maupun oleh yayasan atau masyarakat. Peran sekolah dalam masyarakat adalah sebagai wahana bersosialisasi dengan anggota masyarakat lainnya, khususnya bagi anak usia sekolah, umumnya bagi masyarakat sekitar. Orang tua atau masyarakat akan terbantu dengan adanya sekolah. Menurut Ade Suherman dalam situs blognya yang dapat dilihat di alamat http://adesuherman.blogspot.com/2011/10/peran-masyarakat-terhadap-pendidikan.html:
Dalam konsep pendidikan diperlukan kerja sama antara sekolah dan masyarakat yang dimulai dengan komunikasi. Dalam komunikasi satu sama lain diperlukan inisiatif dari kedua belah pihak. Komunikasi interaktif menempatkan semua pihak sama penting. diharapkan mampu menyampaikan pesan yang berhubungan dengan kebutuhan belajar anak.

Sehingga sekolah tidak dapat dilepaskan peranannya terhadap masyarakat begitu pula sebaliknya, masyarakat sangat berperan terhadap terselenggaranya pendidikan di sekolah.

C. Tantangan Budaya dalam lingkup organisasi (perbedaan, nilai-nilai dan etika) pendidikan dan cara pengembangannya
Dalam organisasi pendidikan para penyelenggara pendidikan sebaiknya memahami keragaman budaya atau yang dikenal dengan sebutan multikultural. Hal ini dikarenakan masyarakat yang singgah di suatu wilayah pada kenyataannya bukan hanya saja penduduk setempat, melainkan penduduk yang kemungkinan berasal dari berbagai daerah yang tentunya memiliki budaya yang tidak sama dengan daerah setempat. Untuk itu tantangan budaya dalam lingkup suatu organisasi pendidikan menjadi semakin besar dengan semakin banyaknya penduduk pendatang pada suatu daerah. Tantangan budaya tersebut tercermin dalam beberapa hal, yakni dalam perbedaan cara pandang, nilai-nilai, juga etika.
Perbedaan ini seyogyanya harus mampu dikreasikan supaya perbedaan yang ada tidak memicu suatu konflik antarbudaya dalam organisasi. Khususnya organisasi pendidikan, yang mana seharusnya lembaga pendidikan mampu mengarahkan seluruh anggota organisasi agar memiliki budi pekerti yang luhur sesuai dengan cerminan tujuan pendidikan nasional. Anggota organisasi harus memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungannya, memiliki rasa toleransi yang tinggi, tidak egois, tanpa meninggalkan nilai-nilai yang dianutnya atau yang diyakininya. Cara untuk mengembangkan nilai-nilai dan etika dalam organisasi pendidikan adalah dimulai dengan cara pemodelan. Pemimpin memiliki peranan penting dalam hal menjadi suri tauladan yang baik atau yang sering disebut dengan istilah role model. Pemimpin harus mampu merepresentasikan bagaimana sikap saling menghargai budaya yang beragam dalam organisasi. Selain itu, pembuatan peraturan pun dapat menegaskan hal yang berkaitan dengan etika organisasi. Artinya perilaku atau hal-hal yang baik dan buruk disampaikan secara jelas agar anggota organisasi memahami etika dalam bekerja di lingkungan organisasi yang berbasis multibudaya. Dalam bidang pendidikan, Kepala sekolah, guru dan staf sekolah memiliki peranan penting dalam menjadi teladan bagi para peserrta didik. Peserta didik semestinya diteladani dengan hal-hal yang baik terkait keberadaan budaya lain di lingkungannya. Selain itu cara untuk mengembangkannya adalah dengan diadakannya pendidikan dan pelatihan bagi anggota organisasi dalam memahami nilai yang diharapkan oleh organisasi meskipun mereka dari berasal dari berbagai macam budaya.
Referensi
Sukardjo, M dan Komarudin, Ukim. (2009). Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya. Depok: PT RAJAGRAFINDO PERSADA
Suherman, Ade. 2011. Peran Masyarakat terhadap pendidikan. [Online]: Tersedia: http://adesuherman.blogspot.com/2011/10/peran-masyarakat-terhadappendidikan.html

Perangkat Microteaching

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

Satuan Pendidikan : SD
Kelas / Semester : 4/2
Tema : Makanan Sehat dan Bergizi
Sub Tema : 1 (Makananku Sehat dan Bergizi)
Pertemuan ke : 1
Alokasi Waktu : 1X 15 Menit
I. KOMPETENSI INTI
1.1 Menerima, menjalankan dan menghargai ajaran agama yang dianutnya.
1.2 Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri dalam berinteraksi dengan keluarga, teman, guru, dan tetangganya.
1.3 Memahami pengetahuan faktual dengan cara mengamati dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah, di sekolah dan tempat bermain.
1.4 Menyajikan pengetahuan faktual dalam bahasa yang jelas, sistematis, dan logis, dalam karya yang estetis, dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan yang mencerminkan perilaku anak beriman dan berakhlak mulia.

II. KOMPETENSI DASAR
2.1 IPA
2.1.1 Mendeskripsikan hubungan antara sumber daya alam dengan lingkungan, teknologi, dan masyarakat.
2.2 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2.2.1 Menghafal do’a sebelum dan sesudah makan dan mengenal makanan halal dan thayib (baik)
2.3 BAHASA INDONESIA
2.3.1 Menyajikan teks cerita petualangan tentang lingkungan dan sumber daya alam secara mandiri dalam teks bahasa Indonesia lisan dan tulis dengan memilih dan memilah kosakata baku.
2.4 MATEMATIKA
2.4.1 Menyatakan kesimpulan berdasarkan data tabel atau grafik.

III. INDIKATOR
3.1 IPA
3.1.1 Mengelompokkan makanan berdasarkan jenisnya.
3.1.2 Menyimpulkan bahwa makanan-makanan kita berasal dari sumber daya alam.
3.2 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
3.2.1 Menghafal do’a sebelum dan sesudah makan beserta maknanya.
3.2.2 Mengenal makanan yang halal dan thayib (baik) untuk dikonsumsi.
3.3 BAHASA INDONESIA
3.3.1 Menceritakan suatu peristiwa saat mengonsumsi suatu makanan.
3.3.2 Membuat laporan dari data kelas yang terkumpul.
3.4 MATEMATIKA
3.4.1 Siswa mampu mengumpulkan data dengan menggunakan turus (tally) dengan teliti.

IV. TUJUAN PEMBELAJARAN
4.1 Siswa mampu mengelompokkan makanan berdasarkan jenisnya.
4.2 Siswa pada akhirnya mampu menyimpulkan bahwa makanan-makanan kita berasal dari sumber daya alam.
4.3 Siswa mampu menghafal do’a sebelum dan sesudah makan beserta maknanya.
4.4 Siswa mengenal makanan yang halal dan thayib (baik) untuk dikonsumsi.
4.5 Siswa mampu menceritakan suatu peristiwa saat mengonsumsi suatu makanan.
4.6 Dengan bertukar informasi, siswa mampu mengumpulkan data tentang makanan yang senang dikonsumsi oleh temannya sehari-hari dengan menghargai dan bekerjasama dan mampu membuat laporan dari data kelas yang terkumpul.
4.7 Siswa mampu mengumpulkan data dengan menggunakan turus secara teliti.

V. MATERI PEMBELAJARAN

5.1 IPA : Kelompok makanan berdasarkan jenisnya dan hubungannya dengan lingkungan, sumber daya alam, teknologi dan masyarakat.
5.2 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM : Do’a sebelum dan sesudah makan dan makanan yang halal dan thayib.
5.3 BAHASA INDONESIA : Teks cerita dan teks laporan hasil pengamatan.
5.4 MATEMATIKA : Data Tabel

VI. Pendekatan, model dan metode pembelajaran
6.1 Pendekatan
Pendekatan Scientific (ilmiah)
6.2 Model Pembelajaran
Pembelajaran aktif dan pembelajaran kooperatif
6.3 Metode Pembelajaran
Ceramah, diskusi, Tanya jawab, penugasan

VII. Langkah-langkah pembelajaran
Kegiatan Deskripsi Pengorganisasian
Waktu Siswa
Pendahuluan
• Guru memberikan salam dan mengajak siswa berdoa.
• Mengecek kehadiran siswa.
• Apersepsi dengan bernyanyi bersama lagu “Abang tukang bakso” dan bertanya jawab mengenai tema makanan sehat dan bergizi.
• Guru menyampaikan tujuan pembelajaran. 2 menit Klasikal
Inti
• Guru bertanya kepada siswa tentang do,a sebelum dan sesudah makan
• Guru bersama-sama siswa menalar hafalan do’a sebelum dan sesudah makan beserta maknanya
• Guru menjelaskan tentang pengelompokkan makanan berdasarkan jenisnya dan menghubungkannya dengan lingkungan, sumber daya alam dan masyarakat.
• Guru membentuk kelompok heterogen yang anggotanya 5 orang.
• Guru menjelaskan bagaimana siswa harus bekerja dalam kelompok dan juga memberikan tugas berupa LKS pada setiap kelompok untuk dikerjakan oleh anggota-anggota kelompok. Setiap anggota kelompok menuliskan pengalaman pada saat mengonsumsi suatu makanan yang disukainya, lalu menceritakan makanan kesukaannya pada teman yang lain. Selain itu dalam format LKS kelompok menghitung jumlah siswa yang menyukai makanan yang telah ditentukan. Setelah usai, maka ketua kelompok melakukan saling kunjung dan saling mempresentasikan informasi. Lalu, setiap kelompok wajib mencatat informasi yang didapatkan pada LKS yang telah disediakan. Setelah itu ketua kelompok kembali pada kelompoknya masing-masing dan bekerja sama dengan anggota kelompoknya untuk segera mengidentifikasi pengelompokkan jenis makanan sesuai dengan data yang telah didapatkan. Tahap selanjutnya siswa membuat tabel yang menggambarkan informasi tersebut dengan menggunakan turus secara teliti.
• Tanya jawab di antara guru dan siswa
• Guru memberikan penguatan kepada semua kelompok dan hasil pekerjaan kelompok di pajang di dinding kelas sebagai bahan portofolio.
11 menit
Klasikal

Klasikal

Klasikal

Kelompok

Kelompok

Individu

Klasikal

Penutup • Guru dan siswa menyimpulkan hasil pembelajaran.
• Guru memberikan pesan moral berkaitan dengan materi pembelajaran.
• Salam dan doa penutup. 2 menit Klasikal

VIII. Alat, media dan sumber belajar
8.1 Alat
• Kertas karton
• Boardmarker dan penghapus
• Lem kertas / solasi
• Gunting
• Penggaris
• Alat tulis
• Lembar kerja siswa

8.2 Media Belajar
• Wortel
• Infocus dan Screen

8.3 Sumber Belajar
• Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2013. Makananku Sehat dan Bergizi : Buku Guru Tematik Terpadu Kurikulum 2013 untuk SD/MI Kelas IV. Jakarta: Lazuardi GIS.

IX. Penilaian
9.1 Prosedur Penilaian
a. Penilain proses : menggunakan format penilaian
b. Penilaian Hasil : menggunakan instrumen hasil belajar
9.2 Instrument
a. Lembar Kerja Siswa : Terlampir
b. Test : Pilihan Ganda, Isian singkat, Uraian
c. Non Test : Rubrik Penilaian
d. Kunci jawaban dan pedoman penskoran : Terlampir
X. Lampiran

Kekuasaan dan Kewenangan dalam Persfektif Budaya

Makalah ini berisi tentang kajian teoritis dan analitis tentang kekuasaan dan kewenangan dalam persfektif Budaya. Makalah ini disusun oleh Elia, Hafiz, Rona, Ismala dan Siska selaku mahasiswa Admnistrasi Pendidikan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi referensi kekuasaan dan kewenangan dalam persfektif budaya. Mengutiplah dengan bijak n_n..
BAB I
PENDAHULUAN
Hal-hal terkait dengan kekuasaan menjadi suatu hal yang menarik dalam masyarakat era modern ini. Seluruh aspek kehidupan manusia diliputi oleh pengaruh kekuasaan. Dalam kehidupan sehari-hari kita diatur oleh berbagai jenis kekuasaan, seperti kekuasaan militer, kekuasaan ekonomi, kekuasaan politik, termasuk juga kekuasaan budaya. Indonesia memiliki ragam budaya yang memiliki corak dan ciri khasnya khususnya di daerah yang disebut dengan budaya lokal. Menurut H.A.R Tilaar dalam bukunya yang berjudul Kekuasaan dan Pendidikan (2009, 48) menuturkan bahwa yang dimaksud dengan budaya lokal adalah “lingkungan pertama dalam pembentukan identitas seseorang sebagai zona prokimal terbentuknya pribadi manusia”. Adapun Indonesia yang memiliki masyarakat multikultural nampaknya perlu mendasarkan pula pada budaya etnis. Identitas etnis yang bhineka itu perlu diangkat ke tataran nilai-nilai yang disepakati bersama yakni nilai-nilai pancasila.
Dengan demikian, dapat kita ketahui bahwa budaya Indonesia yang dimaksud secara makro adalah internalisasi nilai-nilai pancasila pada seluruh warga Negara, sedangkan secara mezzo budaya lokal menjadi budaya yang dianut di daerah dan juga secara mikro budaya ditanamkan dalam keluarga. Ketiga ruang lingkup budaya ini memiliki pengaruhnya terhadap kekuasaan. Budaya yang dianut seseorang akan terbawa pada praktik kekuasaan, misalnya saja persepsi seorang penguasa akan dipengaruhi oleh latar budaya yang dianutnya. Hal ini juga sebaliknya dengan kekuasaan yang memiliki potensi begitu kuat akan mempengaruhi kebudayaan yang dianut oleh seseorang atau sekelompok masyarakat. Artinya jika seseorang dapat menampilkan sesuatu yang bermanfaat dan berkesinambungan secara baik, maka sekelompok orang akan terpengaruh dan menjadikan hal tersebut sebagai budaya.
Makalah ini membahas tentang kekuasaan dan kewenangan dalam persfektif budaya. Secara lebih spesifik, makalah ini membahas kekuasaan dan kewenangan dalam persfektif budaya nasional dan budaya lokal. Harapan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini adalah kami dapat memahami secara lebih mendalam tentang kekuasaan dan kewenangan dalam persfektif budaya dan memecahkan persoalan yang muncul karenanya..

BAB II
LANDASAN TEORI
Budaya diyakini merupakan dasar dalam menjalankan kekuasaan. Nilai dan norma merupakan sistem sosial yang membentuk budaya. Sehingga nilai dan norma menjadi dasar pula dalam menjalankan kekuasaan. Upaya untuk memahami kekuasaan dan kewenangan dalam perspektif budaya cukup sulit, maka pemahaman dari masing-masing istilah diperlukan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mudah dan mendalam. Berikut ini merupakan kajian teoritis berkenaan dengan Kekuasaan dan kewenangan:
2.1 Konsep Kekuasaan dan Kewenangan
Kekuasaan merupakan pengaruh besar yang dilakukan oleh seseorang sehingga orang lain mau, sadar dan siap melaksanakan suatu hal baik tulus atau secara terpaksa mengikuti keinginan yang berkuasa. Ani Puji Lestari dalam situsnya yang dapat dilihat di http://anipujilestari-pengetahuan.blogspot.com/2011/10/hubungan-kebudayaan-dengan-kekuasaan_19.html “Kekuasaan merupakan kemampuan seseorang untuk memperoleh sesuatu sesuai dengan cara yang dikehendaki”. Definisi kekuasaan menurut para ahli yang dikutip dari situs blog Agung yang dapat dilihat di alamat: http://agungblacklist.wordpress.com/2011/11/11/15/ adalah sebagai berikut:
Harold D. Laswell (1950)
Kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain ke arah tujuan dari pihak pertama.
Barbara Goodwin (2003)
Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengakibatkan seseorang bertindak dengan cara yang oleh yang bersangkutan tidak akan dipilih, seandainya ia tidak dilibatkan. Dengan kata lain memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya.
Miriam Budiarjo (2002)
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku.
Ramlan Surbakti (1992)
Kekuasaan adalah kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai kehendak yang memperngaruhi.
Talcott Parsons (1957)
Kekuasaan adalah kemampuan untuk menjamin terlaksananya kewajiban-kewajiban yang mengikat, oleh kesatuan-kesatuan dalam suatu sistem organisasi kolektif. Kewajiban adalah sah jika menyangkut tujuan-tujuan kolektif. Jika ada perlawanan, maka pemaksaan melalui sanksi-sanksi negatif dianggap wajar, terlepas dari siapa yang melaksanakan pemaksaan itu.
Dengan meninjau beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kekuasaan adalah kemampuan mempengaruhi orang atau sekelompok orang untuk berpikir, berperilaku sesuai dengan kehendak orang yang mempengaruhi mengarah pada suatu tujuan yang diinginkan. Sedangkan kewenangan merupakan “bentuk kekuasaan yang dilegalitas dalam sebuah kehidupan organisasi karena aturan main organisasi” (Asep Suryana, 2009). Lebih lanjut Asep Suryana memaparkan bahwa “adapun kewenangan sangat kental dengan organisasi, kewenangan dapat dilihat dari struktur, job deskripsi, rentang kendali, dan standar prosedur operasional”
Dengan demikian kita dapat membedakan secara jelas antara kekuasaan dan kewenangan, adapun kekuasaan merupakan sesuatu yang abstrak dan akan terasa pada saat satu interaksi terjadi, ada proses di mana seseorang melakukan aksi terhadap orang lain. Sedangkan kewenangan secara konkrit dapat dilihat dari posisi dalam struktur organisasi, di mana satu posisi lebih tinggi dari posisi lainnya, sehingga dalam konteks organisasi kewenangan menjadi suatu legalitas atau formalitas untuk mengerahkan kekuasaan.
Kekuasaan dijalankan untuk mencapai suatu tujuan. Adapun tujuan utama dari kekuasaan adalah patuhnya anggota terhadap orang yang memiliki kuasa. Jika kita perhatikan dari batasan kekuasaan itu sendiri, maka fungsi dari kekuasaan adalah sebagai alat untuk mempermudah tercapainya keinginan. Keinginan inilah yang disebut sebagai tujuan. Berikut ini merupakan tujuan dan fungsi kekuasaan menurut Johar Permana dalam Hand out Seminar Kekuasaan dan Kewenangan:
a. Mengatasi kesukaran/rintangan atau serangan.
b. Memecahkan persoalan atau permasalahan.
c. Mengimbangi persaingan dan mengatasinya.
d. Mewujudkan kepuasan, ketentraman dan kedamaian.
e. Menciptakan kesejahteraan dan keadilan.
2.2 Konsep Budaya
Kebudayaan adalah hasil karya manusia, diciptakan oleh manusia dan kebudayaan ikut membentuk manusia dalam kehidupan serta kekaryaannya. (H.A.R Tilaar, 2009). Dengan begitu budaya merupakan sesuatu hal yang melekat pada manusia, berupa persepsi, nilai-nilai, norma, perilaku, benda yang ditampilkan dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Koentjaraningrat (yang disalin dari buku Sekolah Elektronik Antropologi (Siany L, dan Atiek Catur B) unsur-unsur budaya antara lain:
1. Sistem Bahasa
Bahasa merupakan sarana bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan sosialnya untuk berinteraksi atau berhubungan dengan sesamanya. Dalam ilmu antropologi, studi mengenai bahasa disebut dengan istilah antropologi linguistik. Menurut Keesing, kemampuan manusia dalam membangun tradisi budaya, menciptakan pemahaman tentang fenomena sosial yang diungkapkan secara simbolik, dan mewariskannya kepada generasi penerusnya sangat bergantung pada bahasa.

2. Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan dalam kultural universal berkaitan dengan sistem peralatan hidup dan teknologi karena sistem pengetahuan bersifat abstrak dan berwujud di dalam ide manusia. Sistem pengetahuan sangat luas batasannya karena mencakup pengetahuan manusia tentang berbagai unsur yang digunakan dalam kehidupannya.

3. Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial
Unsur budaya berupa sistem kekerabatan dan organisasi social merupakan usaha antropologi untuk memahami bagaimana manusia membentuk masyarakat melalui berbagai kelompok sosial. Menurut Koentjaraningrat tiap kelompok masyarakat kehidupannya diatur oleh adat istiadat dan aturan-aturan mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan di mana dia hidup dan bergaul dari hari ke hari. Kesatuan sosial yang paling dekat dan dasar adalah kerabatnya, yaitu keluarga inti yang dekat dan kerabat yang lain. Selanjutnya, manusia akan digolongkan ke dalam tingkatantingkatan lokalitas geografis untuk membentuk organisasi social dalam kehidupannya.

4. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Manusia selalu berusaha untuk mempertahankan hidupnya sehingga mereka akan selalu membuat peralatan atau benda-benda tersebut. Perhatian awal para antropolog dalam memahami kebudayaan manusia berdasarkan unsur teknologi yang dipakai suatu masyarakat berupa benda-benda yang dijadikan sebagai peralatan hidup dengan bentuk dan teknologi yang masih sederhana. Dengan demikian, bahasan tentang unsur kebudayaan yang termasuk dalam peralatan hidup dan teknologi merupakan bahasan kebudayaan fisik.
5. Sistem Ekonomi/Mata Pencaharian Hidup
Mata pencaharian atau aktivitas ekonomi suatu masyarakat menjadi fokus kajian penting etnografi. Penelitian etnografi mengenai sistem mata pencaharian mengkaji bagaimana cara mata pencaharian suatu kelompok masyarakat atau sistem perekonomian mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
6. Sistem Religi
Koentjaraningrat menyatakan bahwa asal mula permasalahan fungsi religi dalam masyarakat adalah adanya pertanyaan mengapa manusia percaya kepada adanya suatu kekuatan gaib atau supranatural yang dianggap lebih tinggi daripada manusia dan mengapa manusia itu melakukan berbagai cara untuk berkomunikasi dan mencari hubungan-hubungan dengan kekuatan-kekuatan supranatural tersebut.

7. Kesenian
Perhatian ahli antropologi mengenai seni bermula dari penelitian etnografi mengenai aktivitas kesenian suatu masyarakat tradisional. Deskripsi yang dikumpulkan dalam penelitian tersebut berisi mengenai benda-benda atau artefak yang memuat unsur seni, seperti patung, ukiran, dan hiasan. Penulisan etnografi awal tentang unsur seni pada kebudayaan manusia lebih mengarah pada teknikteknik dan proses pembuatan benda seni tersebut.

Berdasarkan jenisnya, seni rupa terdiri atas seni patung, seni relief, seni ukir, seni lukis, dan seni rias. Seni musik terdiri atas seni vokal dan instrumental, sedangkan seni sastra terdiri atas prosa dan puisi. Selain itu, terdapat seni gerak dan seni tari, yakni seni yang dapat ditangkap melalui indera pendengaran maupun penglihatan.

Tidak berbeda jauh dengan yang dirumuskan Michael Fairbanks yang dikutip H.A.R Tilaar dalam bukunya yang berjudul kekuasaan dan pendidikan (2009, 58) kebudayaan dalam arti yang luas menyimpan tujuah modal utama, di dalamnya, antara lain:
1. Modal alam atau lingkungan yang akan diolah oleh manusia sebagai pemiliknya.
2. Modal keuangan suatu Negara.
3. Modal fisik yang dimiliki oleh manusia seperti gedung-gedung jembatan, jalan, telekomunikasi.
4. Modal kelembagaan seperti departemen pemerintah yang efisien, perusahaan-perusahaan, lembaga-lembaga social lainnya.
5. Modal pengetahuan seperti lembaga-lembaga pendidikan tinggi dan lembaga-lembaga riset.
6. Modal manusia, yaitu manusia yang memiliki keterampilan wawasan dan kemampuan untuk membangun.
7. Modal dalam bidang bahsa, musik, tradisi ritualistic dan juga nilai-nilai yang berkaitan dengan kemampuan inovasi suatu masyarakat.

Bentuk budaya Menurut Stephen P. Robbins, Timothy A. Judge (2007) yang dikutip dari situs http://www.slideshare.net/RobyIrzalMaulana/budaya-organisasi-17049284 meliputi “budaya diturunkan kepada pegawai melalui sejumlah bentuk, dimana yang paling kuat adalah cerita-cerita, simbol-simbol materi, dan bahasa”.
2.3 Kekuasaan dan Kewenangan dalam Persfektif Budaya
Setelah memahami kedua konsep kekuasaan dan kewenangan dan juga konsep budaya secara terpisah, maka untuk memahami kekuasaan dan kewenangan dalam persfektif budaya akan menjadi lebih mudah. Dalam buku Kekuasaan dan Pendidikan H.A.R Tilaar (2009, 78) memaparkan dengan jelas hubungan antara kekuasaan dan kewenangan dalam pandangan budaya:
Kekuasaan (power) bukan hanya merupakan objek garapan ilmu politik atau sosiologi, tetapi juga merupakan penelitian kebudayaan, oleh karena pada hakikatnya kebudayaan mengatur kelangsungan hidup suatu kelompok masyarakat berarti hakikatnya juga mempertahankan kekuasaan tertentu. Oleh sebab itu, konsep kekuasaan juga merupakan pokok-pokok pemikiran dalam filsafat, baik filsafat pada umumnya maupun filsafat ilmu politik dan filsafat kebudayaan.

Dari pemaparan tersebut dapat kita pahami bahwa kekuasaan dan budaya tidak dapat dipisahkan. Hal ini dikarenakan budaya dipersepsikan sebagai sistem yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat. Ketika ada sistem yang mengatur keberlangsungan hidup dalam konteks suatu negara, maka di situ pula tentu kita akan berpikiran bahwa ada yang menjadi seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kuasa (penguasa) yang mengatur sistem tersebut.
Ruang lingkup atau konteks secara lebih jelas yang dibahas dalam makalah ini meliputi tataran nasional (makro), lokal/daerah (mezzo) dan lembaga/organisasi (mikro). Artinya bagaimana keterkaitan kekuasaan dan kewenangan dengan budaya pada ketiga tataran tersebut.
Kekuasaan dan kewenangan dalam persfektif budaya mengandung sebuah pertanyaan besar tentang bagaimana pandangan budaya terhadap suatu kekuasaan dan kewenangan. Namun, lebih dari itu kita dapat mengembangkan pertanyaan tersebut menjadi bagaimana pengaruh kekuasaan dan kewenangan terhadap budaya. Artinya dalam menemukan pemahaman tentang kekuasaan dan kewenangan dalam persfektif budaya, kita memiliki 2 asumsi dasar yang berkaitan dengan hal tersebut.
Pertama, dalam persfektif budaya kekuasaan dan kewenangan merupakan suatu energi atau kekuatan yang mampu mempertahankan, melestarikan, mentransformasikan budaya dalam masyarakat. Sebagai sebuah ilustrasi, seseorang yang memiliki kapabilitas sebagai penguasa dapat menanamkan nilai-nilai yang dia anut ke dalam tubuh masyarakat. Dari ilustrasi tersebut dapat kita tinjau bahwa penguasa memiliki otoritas untuk menginternalisasikan budaya yang dianutnya kepada setiap orang yang dipengaruhinya.
Beberapa unsur-unsur budaya menjadi fokus pembahasan kekuasaan dan kewenangan dalam persfektif budaya pada asumsi yang pertama. Unsur-unsur itu meliputi persepsi, nilai-nilai dan artefak.
Persepsi, dalam masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan pandangan hidup, dengan sendirinya terdapat bermacam persepsi mengenai kekuasaan. Persepsi ini merupakan hal dasar yang harus ditanamkan oleh penguasa pada saat menjalankan kekuasaannya. Persepsi ini yang akan menentukan tingkah laku atau sikap selanjutnya dari para anggota. Jika persepsi ini mampu dibangun penguasa kepada seluruh orang yang dikuasai, maka budaya akan lestari dan tujuan akan mudah dicapai.
Nilai-nilai, Nilai mengandung dengan apa yang disebut tujuan, strategi dan filsafat. Nilai di sini adalah pengertian-pengertian atau konsepsi yang dihayati seseorang mengenai apa yang lebih penting atau kurang penting, apa yang lebih baik atau kurang baik, dan apa yang lebih benar dan apa yang kurang benar. Nilai hanya dapat dipahami jika dikaitkan dengan sikap dan tingkah laku. Hal ini disebabkan nilai akan mempengaruhi sikap dan tingkah laku.
Pada zaman- zaman kerajaan kuno artefak merupakan simbol kekuasaan dan status di masyarakat. Biasanya artefak tersebut berbentuk prasasti atau tugu. Berikut ini merupakan ilustrasi untuk memahami kekuasaan dalam persfektif budaya pada unsur artefak yang dikutip oleh Abdi eL_Machete dalam situsnya yang dapat dilihat pada alamat web: http://ighoelmachete.wordpress.com/2013/03/08/budaya-dan-kekuasaan-2/ :
“… Belajar dari sejarah raja-raja Hindu, Sultan Agung Mengembangkan tradisi sastra dengan meminta para pujangga keratonnya menulis mitologi kekuasaan Mataram. Mulai dari Sultan Agung, muncullah kemudian karya sastra Jawa seperti ‘Babad Tanah Jawa’, ‘Serat Centhini’, ‘Serat Putra Raja’, ‘Babad ing Kala’, dan lain-lain. Karya sastra ini berisi tentang mitologi raja-raja Mataram, lengkap dengan silsilahnya sampai ke raja-raja Majapahit serat para Nabi yang dalam ajaran Islam…
Seperti yang dilakukan oleh para raja-raja jawa terdahulu terhadap rakyatnya demi mendapatkan sebuah dukungan, maka dibuatlah sebuah design cerita, yang tentunya tujuan dari hal tersebut tak lain sebagai sebuah alat untuk melegitimasi kekuasaan yang dipegangnya dan terus berlanjut kepada para keturunannya. Karya sastra atau design cerita yang tertulis tersebut merupakan sebuah artefak. Artefak tersebut mendemonstrasikan sebuah kekuasaan pada zamannya. Pada zaman sekarang, yang dimaksud dengan artefak misalnya sebuah museum didirikan untuk memamerkan artefak-artefak kebudayaan sebagai hasil dari kekuasaan suatu rezim, pusat penelitian mendirikannya untuk mengenal mereka, negara dan organisasi dominan menciptakannya agar bisa memperkenalkan ekspansi mereka. Teknologi pun merupakan suatu artefak budaya sebagai pengaruh dari kekuasaan.
Asumsi yang kedua, kekuasaan dan kewenangan merupakan suatu energi atau kekuatan yang mampu membentuk sebuah budaya. Sebuah ilustrasi, seseorang yang memiliki kapabilitas sebagai penguasa dapat membentuk budaya sebagaimana yang diinginkannya. Budaya yang dibentuk ini dirasa perlu oleh seorang penguasa karena dibutuhkan dalam proses pencapaian tujuan. Artinya tidak ada cara lain untuk mendisiplinkan orang-orang yang dikuasai selain membentuk budaya agar mereka patuh dan berbudaya dalam mencapai tujuan.
Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa kekuasaan memiliki relasi erat dengan kebudayaan, di mana suatu kekuasaan tertentu seringkali mengusung sistem budaya tertentu pula. Dalam persfektif budaya, kekuasaan merupakan suatu kekuatan untuk mempertahankam, melestarikan, menginternalisasi budaya. Unsur-unsur yang ditransformasikan melalui kekuasaan dan kewenangan tersebut di antaranya melalui persepsi, nilai-nilai dan artefak. Selain itu, kekuasaan dan kewenangan pun memiliki pengaruhnya terhadap budaya. Kekuasaan dan kewenangan berpotensi untuk membentuk budaya dalam rangka mendukung atau mempermudah pencapaian tujuannya. Dalam hal ini kapasitas seorang penguasa dalam menggunakan sumbersumber kekuasaan menjadi hal yang penting agar budaya dapat dibentuk dengan baik.

BAB III
PEMBAHASAN
Dalam masyarakat Indonesia yang terdiri dari banyak suku bangsa, tentu terdapat bermacam konsep tentang kekuasaan. Konsep kekuasaan antara masyarakat (bangsa) yang satu dengan masyarakat (bangsa) yang lain sudah tentu berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan oleh latar belakang sosial-budaya dan pandangan hidup mereka yang berbeda.
Seperti halnya yang dikutip dari Sari R. Damayanti pada situs blognya yang dapat dilihat di http://ciptacitakarsakarya.blogspot.com/2011/07/kebudayaan-dan-kekuasaan-hasil-sebuah_10.html
Kekuasaan merupakan produk budaya dan setiap bangsa bahkan setiap rezim yang berkuasa memiliki karakter khas masing-masing dari nilai-nilai yang beredar. Setiap budaya tidak akan dapat bertahan tanpa ditopang oleh suatu kekuasaan. Begitu pula sebaliknya sebab kekuasaan sebuah rezim membutuhkan identitas dan kebudayaan kemudian diberdayakan sebagai alat kekuasaan.
Kemudian Pierre Bourdieu (Dalam Abdi El Machutu, 2013) Ia mengatakan bahwa “‘tindakan’ (practice) atau apa yang secara aktual dilakukan seseorang, merupakan bentukan dari aturan-aturan dan konvensi kebudayaan.” Selain teori Bourdieu yang dikemukakan tersebut, kita juga perlu melihat beberapa pandangan teori dari Bourdieu yakni: medan budaya (cultural field), habitus, dan modal budaya (cultural capital). Berikut ini merupakan penjelasannya:
Medan budaya sebagai institusi, nilai, kategori, perjanjian, dan penamaan yang menyusun sebuah hierarki objektif, yang kemudian memproduksi dan memberi “wewenang” pada berbagai bentuk wacana dan aktivitas, serta konflik antarkelompok atau antarindividu yang muncul ketika mereka bertarung untuk menentukan apa yang dianggap sebagai modal dan bagaimana hal tersebut harus didistribusikan, yang disebut modal oleh Bourdieu meliputi benda-benda material (yang bisa mempunyai nilai simbolis), prestise, status, otoritas, juga selera dan pola konsumsi.
Hal semacam ini, jika ditarik ke dalam analisa lingkar kekuasaan di negeri ini, jelas sangat mengena apa yang sering disebut sebagai institusi dan instrumen dalam kekuasaan itu sendiri, yang lambat laun dapat menjadi sebuah budaya di bangsa kita. Jelas dalam hal ini bahwa kekuasaan yang dimiliki seseorang dalam sebuah medan, ditentukan oleh posisinya dalam medan itu, yang pada gilirannya akan menentukan besarnya kepemilikan atas modal yang dikuasainya. Kekuasaan tersebutlah yang digunakan untuk menentukan hal-hal apa saja yang bisa disebut modal (capital) dan budaya (culture).
Modal selalu tergantung dan terikat pada medan tertentu, ia bersifat partikular. Dalam hal gaya hidup remaja Indonesia sekarang (yang telah membudaya) misalnya, pengenalan akan film dan musik barat, kemampuan berbahasa gaul, atau pun berdandan dengan gaya tertentu, bisa disebut sebagai modal. Bagaimanapun, kemampuan-kemampuan ini bukanlah modal, melainkan sebuah budaya, misalnya saja dalam hal pelayanan diplomatik.
Pemahaman seseorang akan modal dan budaya berlangsung secara tak sadar, dengan cara begitulah ia akan berfungsi efektif. Seperangkat pengetahuan, aturan, hukum, dan kategori makna yang ditanamkan secara tak sadar ini oleh Bourdieu disebut habitus. Habitus bersifat abstrak dan hanya muncul berkaitan dengan putusan tindakan (ketika seseorang dihadapkan pada masalah, pilihan atau konteks).
Dengan demikian dapat kita analisis bahwa budaya dapat terbentuk oleh kekuasaan. Kekuasaan yang membentuk budaya yang positif bagi masyarakat secara nasional (makro), (mezzo) dan (mikro) tentunya menjadi sebuah keuntungan, namun berbeda halnya jika kekuasaan membentuk budaya yang negatif bagi masyarakat secara nasional (makro), (mezzo) dan lembaga (mikro), hal ini akan menjadi suatu permasalahan. Misalnya, setiap penguasa pasti memiliki kepentingan yang tentunya ingin memperpanjang masa kekuasaaanya, atau minimal dijadikan sebagai sebuah simbol dalam kekuasaan setelahnya. Hal-hal semacam ini jelas akan mempengaruhi sebuah bangsa dan negara secara menyeluruh. Bahkan dampak yang terparah dari hal tersebut yang akan timbul kemudian terhadap generasi penerus bangsa adalah ketidaktahuan tentang sejarah budaya bangsanya atau bahkan disintegrasi bangsa di masa yang akan datang yang disebabkan tidak adanya pemahaman mendalam tentang budaya bangsa sendiri.
Berikut ini merupakan pembahasan kekuasaan dan kewenangan dalam persfektif budaya pada tataran makro, artinya yang berpengaruh secara nasional, meliputi identitas budaya bangsa dan Negara. Kekuasaan dan kewenangan secara makro dipegang oleh pemerintah pusat. Meskipun dengan ragam yang dimilikinya, bangsa ini memiliki semboyan bhineka tunggal ika (berbeda-beda, tetapi tetap satu) Budaya secara nasional Indonesia adalah ideologi atau nilai-nilai Pancasila. Jika kita tinjau berdasarkan kekuasaan dan kewenangan dalam persfektif budaya, secara makro ini pemerintah pusat memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk menanamkan nilai-nilai pancasila pada seluruh masyarakat Indonesia.
Kekuasaan dan kewenangan akan berpengaruh pada budaya bangsa ini, jika penguasa tidak mampu mentransformasikan atau menyalurkan energi yang kuat tentang nilai-nilai pancasila, maka yang terjadi adalah masyarakat menganut budaya orang lain dan keluar dari jati diri bangsanya.
Kekuasaan dan kewenangan dalam persfektif budaya pada tataran mezzo, artinya kekuasaan dan kewenangan yang akan berpengaruh terhadap budaya masyarakat secara lokal. Budaya lokal di Indonesia begitu sangat beragam, salah satu contohnya adalah budaya jawa yang mayoritas diketahui oleh semua warga Negara Indonesia. Seperti yang dikemukakan oleh Agung dalam situs blognya: http://agungblacklist.wordpress.com/2011/11/11/15/:
Kekuasaan dalam konsep budaya Jawa memiliki sifat absolut (mutlak), raja dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia. Dalam konsep kekuasaan jawa tersebut, pemberian kekuasaan yang besar kepada seorang raja harus diimbangi dengan ketentuan bahwa raja harus bijaksana. Selain itu, tugas raja adalah menjaga keteraturan dan ketenteraman hidup rakyatnya demi tercapainya suasana aman, tertib, makmur dan sejahtera.
Dengan begitu pada tataran mezzo, budaya akan lebih kental dalam penerapan kekuasaan dan kewenangannya. Penguasa biasanya menganut sistem budaya tertentu sesuai di mana ia tinggal. Dengan demikian kondisi seperti ini akan lebih mudah bagi penguasa untuk menginternalisasikan budayanya terhadap masyarakatnya.
Kekuasaan dan kewenangan dalam persfektif budaya pada tataran mikro, artinya kekuasaan dan kewenangan yang besar pengaruhnya terhadap budaya anggota organisasi atau lembaga. Dalam pembahasan ini, difokuskan pada organisasi/lembaga pendidikan, pada ruang lingkup yang lebih spesifik lagi yakni sekolah. Perubahan nalar dan watak warga sekolah yang dalam hal ini tentunya yang sedang dikuasai oleh kekuassaan (Kepala Sekolah) tersebut. Dari perubahan watak dan nalar ini (baik positif dan negatif), kemudian akan memunculkan dampak turunannya yakni perubahan sikap dan mental sebuah kaum yang telah dikuasai tersebut. Jelas dalam hal ini, akhir dari rangkaian model perubahan tersebut, akan menimbulkan sebuah pergeseran sosial yang tentunya juga berimbas pada pergeseran kebudayaan warga sekolah yang telah dikuasai. Contohnya adalah budaya disiplin dan tepat waktu datang ke sekolah yang diterapkan oleh Kepala Sekolah. Dengan begitu, kinerja warga sekolah akan meningkat akibat kekuasaan dan kewenangan kepala sekolah yang membentuk budaya bagi semua yang dipengaruhinya. Jika kepala sekolah tidak mampu untuk mentransformasi budaya baik, maka yang terjadi adalah kesulitand alam pencapaian tujuan.
Dengan meninjau kekuasaan dari persfektif budaya dan upaya mencari pemecahan masalah atau usaha antisipasi dari masalah yang akan timbul akibat dari budaya yang dibentuk atau ditransformasikan oleh kekuasaan, maka diperlukan suatu perubahan budaya yang dimaksudkan untuk mengubah perilaku bangsa (secara makro), masyarakat lokal (secara mezzo) ataupun anggota organisasi/lembaga pendidikan (secara mikro) yang nantinya diharapkan dapat meningkatkan kinerja anggota di sebuah organisasi, khususnya lembaga pendidikan. Cara atau metode yang dapat digunakan untuk merubah suatu budaya yang dikutip dari hand out mata kuliah kekuasaan dan kewenagan oleh Asep Suryana di antaranya adalah:
Pertama, dengan cara modelling atau peneladanan sikap, perilaku, dan kepribadian seorang pemimpin kepada bawahan, ini harus dalam krieria sifat yang positif. Hal ini bertujuan untuk mensetting atau membentuk pola perilaku bawahan agar dapat sesuai dengan tujuan pemimpin yang mana sesuai dengan tujuan organisasi. Dengan cara ini juga diharapkan akan terjadi keselarasan di antara pegawai.
Kedua, dengan cara yang sebelumnya yaitu dengan cara menjelaskan kepada bawahan apa itu budaya organisasi dalam ruang lingkup perilaku organisasi yang mereka harapkan dan yang sedang mereka lakukan. Ini bertujuan agar semua personil dapat mengetahui kemana arah organisasi mereka berjalan.
Ketiga, dengan cara mempromosikan pekerja yang dapat menemukan suatu nilai yang baru dan dapat meyakinkan pekerja yang lain akan penting nilai itu untuk melanggengkan organisasi yang mereka jalani.
Keempat, mendesain kembali segala bentuk sosialisasi budaya yang selama ini mereka lakukan dengan sosialisasi yang baru sesuai dengan perubahan nilai yang ada. Ini bertujuan penyeimbangan nilai yang baru agar tidak terjadi ketidakpahaman pekerja kemana nilai yang sekarang mereka anut.
Dengan merubah sistem pemberian hadiah kepada bawahan yang berjasa guna menyemangati para pekerja lain untuk menemukan suatu nilai atau aturan yang baru yang mungkin sangat membantu daalam proses perkembangan organisasi dan juga perilaku yang terjadi di dalam organisasi itu tersebut.
Kelima, menempatkan atau melaksakan kembali semua peraturan yang tidak tertulis dengan menjadikannya peraturan yang sah dan formal. Ini bertujuan untuk menguatkan atau memperkuat aturan yang sudah ada dengan peraturan yang baru yang mana akan lebih kompleks dalam memberikan peraturan.
Keenam, mengolah suatu budaya yang termasuk di dalamnya adalah strukutur organisasi, norma, kepercayaan dan perilaku melalui pemindahan kerja, pergantian posisi jabatan pekerjaan daam satu level, dan pemusatan kerja.
Ketujuh, bekerjasama dengan rekan kerja dengan kepastian melalui penggunaan partisipasi dan kekreatifitasan pekerja akan iklim budaya organisasi yang terjadi di organisasi dengan adanya kepercayaan yang tinggi antar sesama pegawai

BAB IV
KESIMPULAN
Kekuasaan memiliki relasi erat dengan kebudayaan, di mana suatu kekuasaan tertentu seringkali mengusung sistem budaya tertentu pula. Dalam persfektif budaya, kekuasaan merupakan suatu kekuatan untuk mempertahankam, melestarikan, menginternalisasi budaya. Seseorang yang memiliki kapabilitas sebagai penguasa dapat menanamkan nilai-nilai yang dia anut ke dalam tubuh masyarakat. Unsur-unsur yang ditransformasikan melalui kekuasaan dan kewenangan tersebut di antaranya melalui persepsi, nilai-nilai dan artefak.
Selain itu, kekuasaan dan kewenangan pun memiliki pengaruhnya terhadap budaya. Kekuasaan dan kewenangan berpotensi untuk membentuk budaya dalam rangka mendukung atau mempermudah pencapaian tujuannya. Dalam hal ini kapasitas seorang penguasa dalam menggunakan sumber-sumber kekuasaan menjadi hal yang penting agar budaya dapat dibentuk dengan baik.
Dalam tataran makro, diharapkan kekuasaan dan kewenangan mampu menanamkan nilai-nilai atau ideologi pada seluruh masyarakat Indonesia, sehingga menjadi jati diri bangsa yang tidak mudah digoyahkan oleh budaya barat. Dalam tataran mezzo kekuasaan dan kewenangan diharapkan mampu melestarikan, memperkuat dan menginternalisasikan budaya terhadap masyarakat lokal. Dalam tataran mikro, khususnya lembaga pendidikan diharapkan kekuasaan dan kewenangan mampu mencerminkan kekuasaan yang berbasis budaya, yang mengarah pada pencapaian tujuan.

DAFTAR PUSTAKA
Permana, Johar. (). Seminar Kekuasaan dan Kewenangan. Bandung: Tidak diterbitkan
Suryana, Asep. (2009). Hand Out Mata Kuliah Kekuasaan dan Kewenangan. Bandung: Tidak diterbitkan
Siany L, dan Atiek Catur B. (). Buku Sekolah Elektronik Antropologi. Tidak diterbitkan
Tilaar, H.A.R. 2009. Kekuasaan dan Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta
Agung. (2011).Kekuasaan menurut Konsep Budaya Jawa. [Online]. Tersedia: http://agungblacklist.wordpress.com/2011/11/11/15/
Damayanti, R. Sari. 2011. Kebudayaan dan Kekuasaan. [Online]. Tersedia: http://ciptacitakarsakarya.blogspot.com/2011/07/kebudayaan-dan-kekuasaan-hasil-sebuah_10.html
El Machete, Abdi. (2013). Budaya dan Kekuasaan http://ighoelmachete.wordpress.com/2013/03/08/budaya-dan-kekuasaan-2/
Lestari, Puji Ani. 2011. Hubungan Kebudayaan dengan Kekuasaan. [Online]. Tersedia:
http://anipujilestari-pengetahuan.blogspot.com/2011/10/hubungan-kebudayaan-dengan-kekuasaan_19.html
Maulana, I. Roby.(). Budaya Organisasi. [Online]. Tersedia: http://www.slideshare.net/RobyIrzalMaulana/budaya-organisasi-17049284

Kekuasaan dan Kewenangan

TAKE HOME EXAM
MATA KULIAH KEKUASAAN DAN KEWENANGAN
Tim Dosen:
Prof. Dr. H. Johar Permana, MA
Dr. Asep Suryana, M.Pd
Drs. Asep Sudarsyah, M.Pd

Disusun oleh
Siska Wiliandini (1100275)

DEPARTEMEN ADMINISTRASI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2014
1. Pengertian power dan authority oleh beberapa ahli dibedakan, berikan penjelasan dengan contoh konkrit dalam sebuah organisasi?
Menurut Antonius Sitepu dalam bukunya yang berjudul Teori-Teori Politik (2012: 52) kekuasaan merupakan:
Suatu kemampuan (kapabilitas) untuk menguasai atau mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu atau kemampuan untuk mengatasi perlawanan dari orang lain dalam mencapai tujuan, khususnya untuk memengaruhi perilaku orang lain. Sedangkan otoritas (kewenangan) merupakan suatu legitimasi (hak) atas dasar suatu kepercayaan untuk memengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu.

Dari pemaparan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kewenangan ternyata menekankan pada bentuk kekuasaan yang sah. Lain halnya dengan Soelistyati Ismail Gani dalam mengartikan kekuasaan yang dikutip oleh Rudi S. Sinaga dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Politik (2013: 18) bahwa:
Kekuasaan dapat diartikan sebagai authority, control, capacity dan hubungan (relationship). Suatu hubungan kekuasaan terjadi bilamana seseorang atau sekelompok golongan tunduk kepada orang ataupun golongan lain dalam suatu bentuk kegiatan tertentu. Seseorang dapat menikmati kekuasaan bila orang itu dapat mempengaruhi perilaku dan pikiran orang lain.

Sedangkan kekuasaan menurut Talcott Parsons (dalam Rudi S. Sinaga, 2013: 19) adalah:
Kemampuan untuk menjamin terlaksananya kewajiban-kewajiban yang mengikat, oleh kesatuan-kesatuan dalam suatu sistem organisasi kolektif. Kewajiban adalah sah jika menyangkut tujuan-tujuan kolektif. Jika ada perlawanan, maka pemaksaan melalui sanksi-sanksi negatif dianggap wajar, terlepas dari siapa yang melaksanakan pemaksaan itu.

Selain itu Gibson (dalam Wibowo, 2013: 202) mendefiniskan kekuasaan (power) sebagai kemampuan membuat orang lain melakukan apa yang diinginkan seseorang untuk mereka lakukan.
Adapun perbedaan yang mendasar antara power dan authority menurut Max Weber (dalam Yayat, 2002:97) adalah sebagai berikut:
Power melibatkan paksaan atau ketakutan (force of coercion). Authority tidak melibatkan paksaan tetapi lebih mengandung keadilan (judgement). Authority dipatuhi karena adanya kesadaran bahwa wajar untuk dipatuhi. Kepatuhan yang ada dalam authority pada dasarnya lebih disebabkan oleh kesukarelaan berdasarkan sistem nilai yang berlaku umum antar anggota organisasi.

Dari pendapat beberapa ahli di atas, maka kesimpulannya adalah kekuasaan dari aspek sumber kekuasaan yakni bahwa kekuasaan bersumber dari wewenang dan legitimasi maka seseorang dapat memiliki peluang kesempatan untuk didengar, diikuti dan dihormati keputusannya sehingga mendapat kuasa (kekuasaan). Keberhasilan seseorang untuk memengaruhi orang-orang terletak pada wewenang dan legitimasi yang melekat pada dirinya. Semakin besar atau tinggi wewenang dan legitimasi yang dimiliki oleh seseorang, maka akan semakin tinggi efektivitas mempengaruhi orang-orang. Perbedaan kekuasaan dan kewenangan biasanya dapat dilihat dari sifat kepatuhan. Sifat kepatuhan dari kekuasaan yang memiliki wewenang biasanya lebih baik karena dengan menggunakan kerelaan penuh, dibandingkan dengan sifat kepatuhan terhadap kekuasaan yang tidak diiringi dengan kewenangan.
Contoh konkrit: Misalnya dalam level lokal Pak Kepala Desa hanya akan dapat memengaruhi lingkungan di wilayah desanya saja, akan menjadi sulit memberikan pengaruh pada desa lainnya apa lagi pada level yang lebih tinggi misalnya kabupaten. Contoh dalam pendidikan adalah misalnya Kepala Sekolah SMAN 1 Margahayu akan diikuti kebijakannya oleh seluruh civitas SMAN 1 Margahayu karena kewenangan yang dimilikinya sebagai Kepala Sekolah. Atau juga siswa yang memiliki kepatuhan terhadap guru dengan menuruti keinginan guru, misalnya mengerjakan pekerjaan rumah, karena guru memiliki kekuasaan dan kewenangan dalam hal tersebut.

2. Basis kekuasaan yang dipergunakan oleh seseorang dalam berkuasa sangat beragam jenisnya seperti coercive (paksaan), information, reference, connection, kewibawaan dan lain-lain. Coba jelaskan masing-masing dan berikan contohnya?
Menurut Wahidin yang dikutip oleh Anthonius Sitepu (2012: 54-55) rincian dari sumber daya kekuasaan (basis kekuasaan) khususnya secara formal administratif ada 6, yaitu sebagai berikut:
1. Kekuasaan balas jasa (reward power) yakni kekuasaan yang legitimasinya bersumber dari sejumlah balas jasa yang sifatnya positif (uang, perlingdungan, perkembangan karir, janji positif, dan sebagainya) yang diberikan kepada pihak penerima guna melaksanakan sejumlah perintah atau persyaratan lain. Faktor ketundukkan seseorang atas kekuasaan dimotivasi oleh hal itu dengan harapan jika telah melakukan sesuatu akan memperoleh seperti yang dijanjikan.
2. Kekuasaan paksaan (coercive power) berasal dari perkirakan yang dirasakan orang bahwa hukuman (dipecat, ditegur, didenda, dijatuhi hukuman fisik dan sebagainya) akan diterima jika mereka tidak melaksanakan perintah pimpinan. Kekuasaan akan menjadi suatu motivasi yang bersifat represif terhadap kejiwaan seseorang untuk tunduk pada kekuasaan pimpinan itu dan melaksanakan seperti apa yang dikehendaki. Jika tidak paksaan yang diperkirakan akan dijatuhkan.
3. Kekuasaan legitimasi (legitimate power) kekuasaan yang berkembang atas dasar dan berangkat dari nilai –nilai intern yang mengemuka dari dan sering bersifat konvensional bahwa seorang pimpinan mempunyai hak yang sah untuk memengaruhi bawahannya. Sementara itu dalam sisi yang lain, seseorang mempunyai kewajiban untuk menerima pengaruh tersebut karena seseorang lainnya ditentukan sebagai pimpinannya atau petinggi sementara dirinya seorang bawahan. Legitimasi yang demikian dapat diperoleh atas dasar aturan formal akan tetapi bisa juga bersumber pada kekuasaan muncul karena kekuatan alamiah dan kekuatan akses dalam pergaulan bersama yang mendudukannseseorang beruntung memperoleh legitimasi kekuasaan.
4. Kekuasaan pengendalian atas informasi (control of information power). Kekuasaan ini ada dan berasal dari kelebihan atas suatu pengetahuan di mana ornag lain tidak mempunyai. Cara ini dipergunakan dengan pemberian atau penahanan informasi yang dibutuhkan orang lain maka mau tidak mau harus tunduk (secara terbatas) pada kekuasaan pemilik informasi. Pemilik informasi dapat mengatur sesuatu yang berkenaan dengan perdaran informasi, atas legitimasi kekuasaan yang dimilikinya.
5. Kekuasaan panutan (referent power), kekuasaan ini muncul dengan didasarkan atas pemahaman secara cultural dari orang-orang dengan yang berstatus sebagai pemimpin. Masyarakat menjadikan pemimpin itu sebagai panutan symbol dari perilaku mereka. Aspek cultural yang biasanya muncul dari pemahaman religiusitas direfleksikan pada charisma pribadi, keberanian, sifat simpatik dan sifat-sifat lain yang tidak ada pada kebanyakan orang. Hal itu menjadikan orang lain tunduk pada kekuasaannya.
6. Kekuasaan keahlian (expert power), kekuasaan ini ada an merupakan hasil dari tempaan yang lama dan muncul karena suatu keahlian atau ilmu pengetahuan. Kelebihan ini menjadikan seseorang pemimpin dan secara alamiah berkedudukan sebagai pemimpin dalam bidang keahliannya itu. Seorang pemimpin dapat merefleksikan kekuasaan dalam batas-batas keahliannya itu dan secara terbatas pula orang lain tunduk pada kekuasaan yang bersumber dari keahlian yang dimilikinya karena ada kepentingan terhadap keahlian sang pemimpin.

Selain itu, Charles F. Andrain (1992) yang dikutip oleh Anthonius Sitepu (2012: 55-56) mengemukakan lima tipe sumber daya kekuasaan, yaitu fisik, ekonomi, normatif, personal dan ahli (informasional). Berikut ini merupakan penjelasannya:
1. Tipe sumber daya fisik, seperti senjata, senapan bom, rudal, penjara, kerja paksa, teknologi dan aparat yang menggunakan senjata-senjata itu dan sebagainya yang sejenis dengan itu. Motivasi untuk mematuhi B berusaha menghindari cedera fisik yang disebabkan oleh A. pada masyarakat yang majju, senjata modern seperti nuklir dan misil tidak dipergunakan untuk mempengaruhi proses politik dalam negeri. Di Negara itu, senjata modern berfungsi sebagai penangkal dan sumber pengaruh dalam percaturan politik internasional. Dalam Negara-negara berkembang, senjata konvensional tidak hanya dipergunakan untuk mempertahankan kedaulatan dari penetrasi luar, tetapi juga mematahkan oposisid an kelompok-kelompok yang dianggap menentang kekuasaan dengan alasan demi ketertiban dan kestabilan.
2. Tipe sumber daya ekonomi, seperti misalnya kekayaan (uang, emas, tanah, barang-barang berharga dan surat-surat berharga) dan harta benda, pendapatan, control atas barang dan jasa. Motivasi untuk mematuhi B berusaha memperoleh kekayaan dari A. mereka memiliki kekayaan dalam jumlah besar, setidak-tidaknya secara potensial akan memiliki kekuasaan.
3. Tipe sumber daya normative, seperti misalnya moralitas, kebenaran, tradisi, religius, legitimasi, dan wewenang. Motivasi untuk mematuhi, b mengakui bahwa A memiliki hak moral untuk mengatur perilaku B. sementara itu para pemimpin agama dan adat dan tradisi yang dipelihara dan ditegakkan oleh pemimpin suku tersebut. selain itu, sebagian anggotamasyarakat menaati kekuasan atau kewenangan karena kesadaran peratuan demi ketertiban dan pencapaian tujuan.
4. Tipe sumber daya personal, seperti charisma pribadi, daya tarik, persahabatan, kasih saying, popularitas dan sebagainya yang sejenis itu. Motivasi untuk mematuhi, B mengidentifikasi diri (merasa tertarik) dengan A. penampilan bintang terkenal, pemain sepak bola yang cemerlang, penyanyi yang terkenal dan dipuja orang ataupun pemimpin yang kharismatik. Pengaruh orang –orang ini terutama muncul dari rasa kagum orang-orang yang dipengaruhi terhadap mereka.
5. Tipe sumber daya ahli, seperti misalnya infomasi, pengetahuan, intelegensia, keahlian teknis dan lain-lain. Motivasi untuk mematuhi, B merasa bahwa A mempunyai pengetahuan dan keahlian yang lebih. Pengetahuan, teknologi, keterampilan, merupakan sejumlah bentuk kekuasaan keahlian.

Sementara itu, Wibowo dalam bukunya yang berjudul Perilaku Organisasi (2013, 203-205) merumuskan 17 tipe, jenis, dasar atau sumber kekuasaan, yaitu seperti berikut ini:
a. Coercive power. Dasar kekuasaan memaksa tergantung pada ketakutan atas hasil negatif dari kegagalan untuk mematuhi.
b. Reward power. Kepatuhan dicapai berdasar pada kemampuan mendistribusikan reward yang dipandang berharga oleh orang lain.
c. Legitimate power. Kekuasaan yang diterima orang sebagai hasil dari posisinya dalam hirarki formal suatu organisasi.
d. Process power. Kekuasaan untuk mengontrol atas metode produksi dan analisis.
e. Information power. Akses informasi atau pengawasan terhadap informasi.
f. Representative power. Hak formal diberikan pada individu oleh organisasi yang memungkinkan mereka berbicara sebagai perwakilan kelompok terdiri dari individu dari lintas departemen atau di luar organisasi.
g. Expert power. Pengaruh yang didasarkan pada keterampilan atau pengetahuan khusus.
h. Referent power. Pengaruh yang didasarkan pada identifikasi dengan orang yang mempunyai sumber daya yang diharapkan atau sifat personal.
i. Rational persuation. Kemampuan mengontrol perilaku orang lain karena melalui usaha individu, orang menerima harapan tujuan yang ditawarkan dan cara yang beralasan untuk mencapainya.
j. Coalition power. Kemampuan mengontrol perilaku orang lain secara tidak langsung karena individu berutang kewajiban kepada kita atau orang lain sebagai bagian kepentingan kolektif yang lebih besar.
k. Resources power. Kekuasaan terjadi ketika orang mempunyai saluran terbuka pada sumber daya.
l. Decision making power. Kekuasaan di mana individu atau sub-unit dapat mempengaruhi pengambilan keputusan dengan mempertimbangkan tingkat kekuasaan mereka.
m. Coping with uncertainty. Kejadian yang tidak diantisipasi dapat menimbulkan masalah bagi organisasi.
n. Centrality power. Sub-unit paling sentral pada aliran pekerjaan dalam organisasi biasanya mendapatkan kekuasaan.
o. Substitutability power. Menunjukkan kemampuan sub-unit lain dapat mengerjakan pekerjaan atau tugas suatu sub-unit.
p. Socialized power. Kekuasaan ini diarahkan untuk membantu orang lain dan nilai sebagai rencana yang menunjukkan adanya manfaat campuran dan kepedulian pada orang lain.
q. Personalized power. Personalized power diarahkan pada membantu diri sendiri, di mana ekspresi kekuasaan untuk kepentingan perluasan personal menjadi terpenting.
Maka dengan demikian, penjelasan dari beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa coercive power (paksaan) adalah power yang didasarkan atas kemampuan yang dimiliki pemegang power dalam hal mendistribusikan hukuman, cara berkuasanya adalah dengan paksaan.
Contohnya: Menteri Pendidikan Nasional periode lalu M. Nuh menggunakan kekuasaan coercive ketika menyerukan agar kurikulum baru diimplementasikan. Atau contoh lainnya adalah Rektor UPI menyerukan agar dosen dan mahasiswa tidak bertindak plagiat dalam menulis, sebab aka nada sanksi bagi para plagiator.
Information power, artinya penguasa yang memiliki informasi penting tentang suatu atau banyak hal. Sehingga orang yang dipengaruhinya akan patuh karena membutuhkan informasi tersebut.
Contohnya, Negara Amerika merupakan Negara Adidaya yang memiliki berbagai informasi penting sehingga Negara tersebut banyak dipatuhi oleh Negara-negara lain yang membutuhkan informasi darinya.
Reference power, adalah power yang tampil manakala bawahan memandang bahwa pemegang kekuasaan sebagai teladan.
Contohnya: Pemimpin yang memiliki sifat dan perilaku yang baik, maka staf akan menganggapnya sebagai teladan dalam bertindak atau bekerja.
Connection power, merupakan kekuasaan seseorang yang disebabkan penguasa tersebut memiliki banyak koneksi dengan orang lain.
Contohnya: Penjual baju yang telah memiliki banyak koneksi,maka ialah yang akan menguasai perekonomian di suatu daerah.
Kewibawaan. Artinya kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang karena bawaan kewibawaannya atau biasa disebut dengan kharismatik.
Contohnya: Ir. Soekarno banyak disenangi dan dipatuhi oleh warga negaranya karena memiliki charisma dalam dirinya.

3. Kekuasaan yang berhasil akan terlihat dari kepatuhan yang diperlihatkan oleh seseorang atau kelompok, dalam terminologi kebudayaan kepatuhan itu sangat abstrak. Coba anda jelaskan kekuasaan dan kepatuhan dalam terminologi budaya!
Kekuasaan dan kepatuhan dalam terminologi budaya, misalnya saja salah satu contohnya adalah kekuasaan dan kepatuhan dalam budaya Sunda. Pada umumnya, kekuasaan dalam budaya Sunda banyak dilakukan dengan sumber referent power, yang mana penguasa yang menganut budaya Sunda memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan keaslian dan kekhasan budaya Sunda, misalnya saja someah, bageur, cageur, bener tur singer yang berarti ramah, baik, sehat, benar dan rajin bekerja. Dengan perilaku-perilaku yang ditunjukkan sang penguasa pada orang yang dipengaruhinya di lingkungan budaya terebut, maka dipercaya akan memunculkan sebuah kepatuhan. Contohnya: Bapak Ridwan Kamil yang kini memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk membenahi Kota Bandung yang pada dasarnya mayoritas masyarakatnya berbudaya Sunda banyak menampilkan keteladanan bagi warga Bandung yang mana keteladanan tersebut merupakan sebuah representatif dari budaya Sunda. Kini banyak warga Bandung yang mendukung dan mematuhi segala sesuatu yang diinginkan atau yang diharapkan Pak Ridwan Kamil. Maka terlihatlah kekuasaan dan kepatuhan dari terminologi budaya, khususnya budaya Sunda.

4. Peran penyeimbang (schockbleker) kadang dibutuhkan seseorang dalam menjalankan kekuasaannya, coba anda jelaskan kenapa hal itu dibutuhkan?
Penyeimbang dalam menjalankan kekuasaan adalah penting mengingat bahwa kita tidak mampu menjamin apakah kekuasaan yang dilakukan akan selalu berdampak positif, karena dalam praktik kekuasaan itu tidak selalu diringi dengan niat baik penguasa untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik, melainkan tidak dapat ditampikkan bahwa adapula kekuasaan yang dijalankan bertujuan untuk merusak dan membuat kekacauan. Maka dari itu penyeimbang dalam menjalankan kekuasaan adalah penting peranannya. Penyeimbang kekuasaan itu bisa dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah adanya media massa, yang akan senantiasa mengawal kebijakan penguasa.

5. Ketika pendidikan dijalankan dengan kekuasaan yang menyimpang, maka akan muncul masalah bahwa pendidikan itu akan menjadi alat stupidikasi, demokratisasi yang salah, dan domestifikasi, jelaskan masalah yang berkaitan dengan pendidikan yang dilaksanakan dengan kekuasaan tersebut!
Menurut Rizal dalam situs blognya yang dapat dilihat di alamat: http://moechrizal.blogspot.com/2013/01/relasi-kekuasaan-dan-pendidikan-telaah.html menjelaskan bahwa:
Stupidikasi (pembodohan) dalam pendidikan disebut juga imprealisme pendidikan dan kekuasaan. Artinya, menjadikan peserta didik sebagai budak dan alat dari penjajahan mental yang dilakukan oleh para penguasa.
Demokratisasi yang salah, Pendidikan demokratis bukan hanya merupakan suatu prinsip tetapi juga merupakan suatu pengembangan tingkah laku yang membebaskan manusia dari berbagai jenis kungkungan. Maka demokratis ini diinternalisasikan dengan keliru.

Domestifikasi (penjinakan) peserta didik menjadi subjek eksploitasi oleh suatu kekuasaan di luar pendidikan.

Dari pemaparan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kekuasaan yang salah yang dijalankan dalam penyelenggaraan pendidikan, maka akan berpotensi memunculkan masalah yang disebut dengan istilah stupidikasi yang artinya suatu pembodohan. Pendidikan dijalankan dengan izin penguasa, namun hal-hal yang ditransformasikan hanyalah sedikit, bukan bertujuan untuk usaha dalam pembangunan sumber daya manusia. Contohnya adalah ketika Belanda menjajah Indonesia, pendidikan menjadi suatu hal yang sangat sulit disentuh oleh bangsa Pribumi. Pendidikan yang ada hanyalah boleh dinikmati oleh kaum elit, yakni mereka yang menjajah. Sedangkan para bangsa jajahan pun ternyata diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan, namun konten yang disuguhkan dalam pendidikan ternyata bermaksud untuk proses pembodohan bangsa, bukan penyelenggaraan pendidikan yang benar-benar diberikan untuk kecerdasan bangsa Pribumi. Hal ini berarti stupidikasi akan bergantung pada siapa yang memiliki kepentingan.
Sedangkan demokratisasi yang salah adalah pendidikan demokrasi yang didoktrinkan pada para peserta didik dengan persepsi yang keliru, sehingga peserta didik telah terbentuk mindsetnya untuk melaksanakan demokrasi dengan cara-cara yang tidak bertanggung jawab. Contohnya adalah adanya penyaluran suara rakyat dengan cara anarkis dan merusak fasilitas umum yang telah dibangun dengan susah payah.
Domestifikasi memiliki arti penjinakan yang dimaksudkan untuk mengeksploitasi peserta didik, biasanya di luar organisasi pendidikan. Contohnya adalah pengiriman TKI atau TKW yang memiliki pendidikan rendah.

6. Titik akhir sebuah kekuasaan adalah kepatuhan, bagaimana membuat orang lain menjadi patuh terhadap apa yang kita inginkan, dalam konteks organisasi patuh terhadap aturan organisasi. Jelaskan beberapa hal berikut ini terkait dengan kepatuhan dan kekuasaan:
1) Mengapa orang berkuasa atas orang lain?
Menurut C. Wright Mills (dalam Cholisin dan Nasiwan, 2012: 42) kekuasaan adalah dominasi, yaitu kemampuan untuk melaksanakan kemauan kendatipun orang lain menentangnya.
Maka dengan begitu kita tahu bahwa orang berkuasa atas orang lain dikarenakan memiliki suatu kemauan atau kepentingan atau suatu/sejumlah tujuan, baik bersifat pribadi maupun bersifat kelompok. Selain itu dalam konteks organisasi seseorang berkuasa atas orang lain dikarenakan memiliki rasa keharusan atau panggilan jiwa untuk memberikan pengaruh kepada orang-orang yang dipengaruhinya terkait segala sesuatu yang menjadi tujuan organisasi, agar tujuan organisasi dapat diraih.

2) Sebutkan kelebihan apa yang harus dimiliki dalam berkuasa?
Kelebihan yang harus dimiliki oleh seorang dalam berkuasa yang paling dominan menurut penulis adalah kecakapan dalam berkomunikasi. Strategi berkomunikasi dari penguasa ini akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan seorang penguasa menjalankan kekuasaannya. Jika seorang penguasa tidak cakap dalam berkomunikasi, maka tidak ada yang menjamin orang yang dipengaruhinya akan tetap patuh atas perintahnya. Dalam konteks organisasi, komunikasi penguasa akan besar pengaruhnya terhadap kepatuhan para anggota organisasi.

3) Jelaskan alat yang dapat dipergunakan dalam menjalankan kekuasaan?
Menurut Robert M. Mclver (1961) (dalam Kabul Budiyono, 2012: 26) disebutkan bahwa kekuasaan sosial adalah kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain, baik secara langsung dengan jalan memberi perintah, maupun secara tidak langsung dengan menggunakan alat atau cara yang tersedia. Alat menjalankan kekuasaan salah satunya adalah dengan menggunakan media, sepertti televise, radio, jejaring sosial dan lain-lain. Alat itu pun dapat berupa bahasa yang digunakan pada saat berkomunikasi.
Adapun menurut Yusri dalam blognya yang dapat dilihat pada situs: http://yusrikeren85.blogspot.com/2011/11/sosiologi-kekuasaan-dan-unsur-unsur.html. Objek-objek penyaluran adalah alat untuk menjalankan kekuasaan. Saluran-saluran itu meliputi:
a) Saluran militer; tujuan utamanya adalah untuk menimbulkan rasa takut dalam diri masyarakat, sehingga mereka tunduk pada kemauan penguasa. Apabila saluran ini yang dipergunakan, penguasa akan lebih banyak mempergunakan paksaan (coercion) serta kekuatan militer (military force) di dalam melaksanakan kekuasaannya.
b) Saluran ekonomi; penguasa cenderung berusaha menguasai sendi-sendi jaringan ekonomi, sehingga penguasa dapat menyalurkan perintah-perintahnya melalui berbagai peraturan dan kebijakan ekonomi, dan hal tersebut membuat rakyat tidak memiliki pilihan lain, sehingga penguasa dapat lebih mudah dalam menjalankan kekuasaannya, dan biasanya perintah-perintah tersebut dikenakan sanksi-sanksi tertentu.
c) Saluran politik; penguasa sengaja membuat berbagai peraturan melalui badan-badan yang berwenang dan dianggap sah yang harus ditaati masyarakat agar perintahnya berjalan lancar. Hal ini dibuat untuk meyakinkan dan memaksa masyarakat untuk mentaati peraturan yang dikeluarkan.
d) Saluran tradisional; penguasa berusaha untuk mempelajari, memahami, menyesuaikan, dan memanfaatkan tradisi yang berlaku dalam masyarakat. Kesesuaian ini membuat pelaksanaan kekuasaan berjalan lancar, yang berarti dapat mencegah dan mengatasi reaksi negatif.
e) Saluran ideologi; doktrin atau biasa disebut ajaran yang merupakan penanaman persepsi yang dilakukan penguasa bertujuan untuk menerangkan sekaligus menjadi pembenaran atas pelaksanaan kekuasaannya. Setiap penguasa akan berusaha untuk menerangkan ideologinya tersebut dengan sebaik-baiknya sehingga institutionalized dan bahkan internalized dalam diri warga masyarakat

Berdasarkan pemaparan tersebut, maka alat yang dapat digunakan untuk menjalankan kekuasaan pun bisa dilakukan dengan tradisi dalam budaya atau aturan dalam agama.

4) Jelaskan tujuan yang hendak dicapai dengan kekuasaan?
Menurut Ossip K Flechtheim (Kabul Budiyono, 2012: 26) kekuasaan sosial adalah keseluruhan dari kemampuan, hubungan-hubungan dan proses-proses yang menghasilkan ketaatan dari pihak lain untuk tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh pemegang kekuasaan (social power processes by which compliance of others is secured for ends determined by the power holder). Tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh pemegang kekuasaan tentunya akan beragam, tergantung siapa yang memegang kekuasaan tersebut dan apa tujuan yang dimilikinya. Tujuan yang hendak dicapai dengan kekuasaan dalam organisasi adalah tujuan yang telah dirumuskan bersama oleh para anggota organisasi. Misalnya organisasi pendidikan, sudah seharusnya kekuasaan yang di jalankan di organisasi pendidikan tersebut adalah untuk mencerdaskan manusia.

7. Organisasi adalah wadah bagi orang untuk mencapai tujuannya, dalam pencapaian tujuan orang dikelompokkan dalam unit, pekerjaan, bagian, bidang atau bisa dilihat dari apa yang dinamakan dengan struktur organisasi. Dalam struktur organisasi melekat kewenangan pada orang dan pekerjaannya. Coba anda jelaskan bagaimana membedakan antara kekuasaan dengan kewenangan dalam organisasi!
Menurut Miriam Budiarjo (1977) dalam buku Teori dan Filsafat Ilmu Politik yang ditulis oleh Kabul Budiyono (2012: 26) kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga perilaku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan. Dari pemaparan tersebut, maka jelaslah bahwa kekuasaan berarti sangat luas. Dalam lingkup organisasi yang memiliki struktur organisasi tentu kekuasaan yang nyata dapat terlihat dengan jelas dengan mengetahui kewenangannya. Semakin tinggi jabatan seseorang dalam struktur organisasi, maka akan semakin tinggi pengaruhnya di dalam organisasi tersebut. selain itu, semakin tinggi kewenangan seseorang, maka semakin tinggi pula kepatuhan dari para anggota organisasi terhadapnya.
Ada pula kekuasaan yang mungkin tidak terlihat dalam sebuah organisasi. Biasanya kekuasaan ini dimiliki oleh orang yang ahli atau orang yang memiliki charisma, sehingga meskipun ia tidak memiliki kekuasaan dan kewenangan dalam struktur organisasi, namun ia mampu mempengaruhi dan menggerakkan orang-orang sesuai dengan keinginannya.
Artinya kekuasaan dengan kewenangan dalam organisasi terdapat perbedaan yang mendasar. Kewenangan adalah bentuk legalitas kekuasaan dalam organisasi karena aturan dari sebuah organisasi tersebut.

Referensi:
Budiyono, Kabul. (2012). Teori dan Filsafat Ilmu Politik. Bandung: Alfabeta.
Cholisin dan Nasiwan. (2012). Dasar-dasar Ilmu Politik. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Hayati D. Yayat. (2002). Perilaku Organisasi. Bandung: ALFABETA
Sinaga, Rudi S. (2013). Pengantar ilmu Politik. Yoyakarta: Graha Ilmu.
Sitepu, Anthonius P. (2012). Teori-teori Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Wibowo. (2013). Perilaku Organisasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Moch. Rizal. (2013). Relasi Kekuasaan dan Pendidikan. [Online]. Tersedia: http://moechrizal.blogspot.com/2013/01/relasi-kekuasaan-dan-pendidikan-telaah.html
Yusri. (2011). Sosiologi Kekuasaan dan Unsur-Unsur Kekuasaan. [Online]. Tersedia: http://yusrikeren85.blogspot.com/2011/11/sosiologi-kekuasaan-dan-unsur-unsur.html

Proposal Penelitian Kualitatif

JUDUL PENELITIAN
Studi Komparatif Perencanaan Strategik Madrasah Tsanawiyah terhadap Mutu Layanan Belajar di Pesantren Al Ihsan Baleendah dan Pesantren 3 Persis Pameungpeuk Kabupaten Bandung
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pendidikan sejatinya merupakan suatu kebutuhan yang mendasar dan dibutuhkan secara terus menerus oleh manusia di mana pun manusia itu berada. Tanpa pendidikan, manusia tidak akan pernah berkembang menjadi insan yang berkualitas. Jelaslah bahwa dengan demikian kebutuhan akan pengelolaan pendidikan yang baik dan bermutu muncul sebagai akibat semakin intensif dan kompleksnya permasalahan yang terjadi dalam masyarakat modern. Dalam rangka berupaya mencerdaskan kehidupan bangsa tersebut, pendidikan menjadi suatu harapan terbesar seluruh pihak dalam aktivitas proses perubahan kondisi menjadi lebih baik.
Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 pasal 13 tersurat bahwa berbagai jalur pendidikan seperti pendidikan formal, nonformal dan informal diadakan demi terwujudnya tujuan pendidikan nasional. Sebagai jalan untuk saling melengkapi dan memperkaya, maka pada pasal 15 dinyatakan bahwa jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus. Dengan banyaknya fenomena memprihatinkan terkait dengan degradasi moral, maka pada era ini, banyak orang tua yang menentukan pilihan pendidikan bagi anak-anaknya pada jenis pendidikan keagamaan. Di samping itu, memang tidak sedikit pula orang tua yang memiliki prioritas pendidikan bagi anaknya untuk menanamkan nilai-nilai agama sejak dini, sehingga banyak orang tua yang menjadikan pesantren sebagai alternatif pilihan untuk membantu mereka dalam mendidik anak.
Dengan merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan dan pendidikan keagamaan pasal 26 tentang tujuan pesantren, yaitu
Pesantren menyelenggarakan pendidikan dengan tujuan menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, akhlak mulia, serta tradisi pesantren untuk mengembangkan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik untuk menjadi ahli ilmu agama Islam (mutafaqqih fiddin) dan/atau menjadi muslim yang memiliki keterampilan/keahlian untuk membangun kehidupan yang Islami di masyarakat.
Dari tujuan pesantren ini terdapat kemiripan dengan tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pada potongan Pasal 3 adalah bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Garis persamaannya adalah mengedepankan penanaman ketakwaan dan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan memprioritaskan akhlak mulia bagi peserta didik. Selain itu, sebagai lembaga pendidikan nonformal tertua di Indonesia, yang kini banyak mengalami perkembangan, pesantren memiliki fungsi penting sebagaimana pendidikan pada umumnya.
Pesantren merupakan pendidikan yang berbasis kepada masyarakat. Maka awalnya manajemen pesantren pun berkembang dari konsensus masyarakat, artinya terkadang manajemen dan pembelajaran pesantren tidak menganut kaidah-kaidah manajemen pendidikan formal yang ada. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, saat ini mau tidak mau pesantren membutuhkan kaidah-kaidah manajemen pendidikan dalam rangka pengelolaan pendidikannya agar tujuan dari pesantren dapat terwujud.
Ciri khas dari manajemen pesantren adalah peran seorang kyai yang dipercaya sebagai panutan dalam pengajaran keagamaannya. Kyai merupakan penentu arah kemajuan pesantren. Bukan hanya itu saja, Kyai berperan sebagai pengelola pesantren. Peran ini yang akan menentukan pola manajemen dari pendidikan pesantren. Adapun faktanya Kyai banyak berperan bukan saja sebagai mu’allim (pengajar ilmu) namun banyak berperan di berbagai tempat yang bersifat sosial kemasyarakatan. Hal ini diyakini sebagaimana hadist Nabi Muhammad saw. “sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain”. Sehingga Kyai memiliki keinginan yang besar untuk bermanfaat bagi umat. Dengan begitu Kyai sebagai pengelola pesantren memiliki berbagai urusan yang juga cukup kompleks. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap efektivitas manajemen pesantren, oleh karena itu Kyai membutuhkan bantuan dari para anggota untuk memastikan bahwa manajemen pesantren dapat berjalan dengan baik.
Salah satu sasaran yang dicantumkan dalam rencana strategis 2010-2014 Kementerian Agama RI yaitu adalah Meningkatnya mutu pengelolaan dan layanan pendidikan pesantren dan pendidikan diniyah. Dengan begitu, pembenahan manajemen pesantren didukung dengan diakuinya pesantren sebagai salah satu bentuk pendidikan keagamaan nasional dalam PP No 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Keagamaan. Awalnya pesantren yang kegiatannya hanya mempelajari ilmu agama dan menyiapkan para ulama untuk terjun dalam masyarakat, baik menyampaikan risalah islam atau pun berperan menjadi para pemimpin dalam sistem pemerintahan, kini pesantren mengalami pembaharuan dengan munculnya pesantren-pesantren modern yang diformalkan oleh pemerintah (Kementrian Agama) yang kini mudah diakses oleh siapa saja dan semakin dibutuhkan keberadaannya oleh stakeholder, khususnya orang tua.
Seiring dengan berkembangnya zaman, fenomena IPTEK, daya saing yang semakin kompetitif dan harapan yang tinggi dari pelanggan pendidikan pesantren (orang tua) terhadap mutu pendidikan pesantren, maka pesantren harus terus melakukan pembenahan dan inovasi manajerial. Jika pesantren enggan melakukan pembenahan manajerial yang berfokus pada mutu layanan belajar, maka pesantren akan tertinggal dan mengalami hambatan dalam mencapai tujuannya atau dengan kata lain pada saat proses mencapai tujuannya terjadi kondisi ineffective dan inefficient.
Pasal 49 ayat (1) pada Peraturan Pemerintah nomor 19/2005 berbunyi: “Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas.” Berkaitan dengan penerapan manajemen berbasis sekolah itu di tingkat satuan pendidikan, PP nomor 19/2005 tersebut menetapkan sejumlah standar pengelolaan yang mencakup pengambilan keputusan, pedoman pendidikan, rencana kerja, prinsip-prinsip dasar pengelolaan satuan pendidikan, pengawasan, pemantauan, supervisi, dan pelaporan. Secara ringkas standar-standar pengelolaan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
Pengelolaan satuan pendidikan harus berpegang pada prinsip-prinsip kemandirian, efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas. Pelaksanaan pengelolaan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dipertanggungjawabkan oleh kepala satuan pendidikan kepada rapat dewan pendidik dan komite sekolah/madrasah.
Rencana kerja yang harus dibuat oleh satuan pendidikan meliputi Rencana Kerja Jangka Menengah (4 tahun) dan Rencana Kerja Tahunan. Rencana Kerja Satuan Pendidikan dasar dan Menengah harus disetujui rapat dewan pendidik setelah memperhatikan pertimbangan dari Komite Sekolah/Madrasah.
Dari fenomena tersebut, pesantren dihadapkan pada dua pilihan. Menjalankan pola manajemen yang masih bersifat tradisional ataukah melakukan reformasi kelembagaan sebagai lembaga yang tertata dengan manejemen modern dengan tetap berprinsip terhadap Tafaqquh fi al din. Pada kondisi ideal saat ini, harapannya pesantren menjadi pemicu berkembangnya sistem pendidikan di Indonesia, keaslian dan kekhasan pesantren sebagai tradisi budaya bangsa merupakan kekuatan pilar pendidikan untuk memunculkan pemimpin bangsa yang bermoral. Maka dari itu harapan ini menuntut adanya manajemen pengelolaan lembaga pendidikan pesantren yang berorientasi pada masa depan.
Dengan segala keunikan dan tradisi pesantren yang khas, maka pesantren menjadi sangat menarik untuk dikaji dari berbagai sisi. Luasnya keilmuan adminitrasi pendidikan, menyebabkan penulis tertarik untuk mengkaji secara lebih mendalam terkait dengan fungsi manajemen yang pertama, yaitu perencanaan. Hal ini dilatarbelakangi oleh begitu krusialnya perencanaan dalam suatu organisasi pendidikan. Seperti pepatah sepanjang masa mengatakan bahwa if you fail to plan, you are planning to fail (apabila kau gagal dalam merencanakan, maka sesungguhnya kau sedang merencanakan kegagalan).
Alasan yang kedua adalah dengan adanya berbagai perubahan-perubahan signifikan terjadi sangat cepat dalam dunia pendidikan, begitu pula tantangan pada lingkungan organisasi menuntut tanggapan yang cepat pula agar organisasi atau lembaga tetap bisa bertahan dan berkembang, tak terkecuali juga bagi pesantren. Oleh karena itu diperlukan sebuah rencana yang bersifat strategis. Disebut strategis karena disusun dengan cara-cara yang sistematis dalam menganalisis lingkungan, menilai kekuatan internal organisasi, serta mengidentifikasikan peluang-peluang di mana organisasi mempunyai keuntungan yang kompetitif.
Logika dasar perlunya perencanaan strategis adalah terjadinya perubahan eksternal secara cepat dan tidak menentu, hal ini menuntut organisasi untuk melakukan penyesuaian atau perubahan internal agar mampu mempertahankan fungsi dan peranannya dalam memberikan pelayanan yang baik dan tepat kepada kelompok sasarannya dalam periode waktu tertentu.
Inti dari proses penyelenggaraan pendidikan atau core business pendidikan adalah proses pembelajaran yang mengutamakan kepentingan peserta didik. Sama halnya di pesantren, kepentingan santri harus menjadi kepentingan utama, terutama dalam kualitas pengembangan pribadinya. Hal ini sejalan dengan pemikiran Satori (dalam Syaiful, 2010:243) yang menyatakan bahwa “kinerja kepemimpinan sekolah, mutu mengajar guru, fasilitas sekolah, program-program sekolah dan layanan lainnya di sekolah haruslah ditujukan pada jaminan terwujudnya layanan pembelajaran yang bermutu”.
Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang mampu melibatkan keaktifan santri. Artinya pembelajaran tersebut mampu menghadirkan pembelajaran yang penuh dengan makna atau meaningfull learning. Pembelajaran penuh makna ini tidak serta merta diciptakan dengan usaha yang mudah, melainkan melalui upaya yang sangat kompleks, mulai dari kegiatan mendesain pembelajaran, menyediakan fasilitas belajarnya dan juga selalu memotivasi siswa pada saat pembelajaran berlangsung dan kegiatan-kegiatan lainnya yang dilakukan demi terwujudnya layanan belajar yang bermutu.
Adapun proses pembelajaran yang terstandar pun dirumuskan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan pada peraturan pemerintah No. 19 Tahun 2007 dalam standar proses. Dalam pasal tersebut terdapat beberapa hal yang harus diupayakan oleh guru dan kepala sekolah dalam menjamin layanan belajar bagi siswa. Mengingat bahwa hal utama yang perlu dijamin mutunya adalah proses pembelajaran yang berdampak pada hasil lulusan yang berkompeten, maka implikasinya adalah mutu layanan belajar menjadi suatu hal yang mendasar dalam perumusan perencanaan strategik.
Hasil temuan studi pendahuluan yang dilakukan pada hari Kamis 20 November 2014 di Pesantren Persis, berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Madrasah Tsanawiyyah dapat diidentifikasi bahwa madrasah tsanawiyah di pesantren tersebut memiliki rencana strategik, namun ternyata analisis internal dan eksternal lembaga belum dilakukan dengan optimal dan dijadikan sebagai acuan sebagai perumusan strategi.
Pesantren 3 Persis Pameungpeuk dan Pesantren Al Ihsan memiliki keunggulan masing-masing. Pesantren 3 Persis Pameungpeuk tidak menggunakan sistem mondok atau sistem asrama, yang mana para santri tinggal di tempat penyelenggaraan pendidikan. Adapun keunggulannya adalah mampu mengembangkan kurikulum sesuai dengan karakteristik yayasan di bawah naungan Persatuan Islam. Sedangkan Pesantren Al Ihsan menggunakan sistem asrama bagi para santri. Materi pendidikan dan pengajaran di Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan merupakan sintesa dan modifikasi dari empat unsur yaitu Pondok Modern Gontor dengan bahasa dan disiplinnya, pondok salafi dengan kitab kuningnya, SLTP/SMU dengan kurikulum Depdiknasnya, dan MTs/MA dengan kurikulum Depagnya.
Berdasarkan kenyataan tersebut, perlu kiranya dilakukan sebuah penelitian perbandingan tentang bagaimana perencanaan strategik madrasah tsanawiyah terhadap mutu layanan belajar pada kedua pesantren tersebut. Ditinjau perencanaan strategiknya dikarenakan penulis ingin mengetahui bagaimana perpindahan manajemen pesantren dari pola lama menuju pola baru. Dihubungkan dengan mutu layanan belajar dikarenakan core business dari penyelenggaraan pendidikan adalah proses pembelajaran. Sehingga harapannya penelitian ini dapat mengetahui perencanaan strategik MTs yang ada di kedua pesantren tersebut dalam meningkatkan mutu layanan belajar.
B. Fokus dan Perumusan Masalah Penelitian
Masalah dalam penelitian kualitatif bertumpu pada suatu fokus. Menurut Moleong (2006: 386), ”Fokus itu pada dasarnya adalah sumber pokok dari masalah penelitian.” Berpijak dari latar belakang penelitian sebagaimana dikemukakan di atas, permasalahan hanya difokuskan pada masalah perencanaan strategik MTs. Adapun fokus masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana profil dari MTs Pesantren Al Ihsan dan MTs Pesantren 3 Persis?
2. Bagaimana perumusan visi, misi dan nilai-nilai dari kedua pesantren?
3. Bagaimana kedua pesantren menelaah lingkungan strategik dalam meningkatkan mutu layanan belajar?
4. Bagaimana analisis strategik dan analisis faktor kunci keberhasilan dalam meningkatkan layanan layanan dari kedua pesantren?
5. Bagaimana kedua pesantren menetapkan tujuan, sasaran dan strategik (yang berisi kebijakan, program dan kegiatan) dalam meningkatkan layanan belajar ?
C. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menemukan, mengembangkan dan membuktikan pengetahuan tentang perencanaan strategik di pesantren.
Secara khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk:
a. Mengetahui profil dari MTs Pesantren Al Ihsan dan MTs Pesantren 3 Persis.
b. Mengetahui gambaran proses perumusan visi, misi dan nilai-nilai dari MTs Pesantren Al Ihsan dan MTs Pesantren 3 Persis.
c. Mengetahui gambaran proses telaah lingkungan strategik dalam meningkatkan mutu layanan belajar di MTs Pesantren Al Ihsan dan MTs Pesantren 3 Persis.
d. Mengetahui gambaran proses analisis strategik dan analisis faktor kunci keberhasilan dalam meningkatkan mutu layanan belajar di MTs Pesantren Al Ihsan dan MTs Pesantren 3 Persis.
e. Mengetahui gambaran proses penetapan tujuan, sasaran dan strategik (yang berisi kebijakan, program dan kegiatan) dalam meningkatkan mutu layanan belajar.

D. Paradigma
Menurut Bogdan dan Biklen (dalam Moleong, 2014: 49) paradigma adalah kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian.
Paradigma dari penelitian ini dapat dilihat dalam skema berikut:

ORANG TUA DAN MASYARAKAT

Manajemen Pesantren

M
A
N
A
J
E
M
E
N

S
T
R
A
T
E
G
I
K

PERENCANAAN STRATEGIK

Core business Pendidikan :
Proses Pembelajaran

Core business Pendidikan :
Proses Pembelajaran

MUTU
LAYANAN
BELAJAR

Fenomena Umum:
1. Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 2007, tentang Pendidikan Keagamaan
2. Perpindahan Manajemen Pesantren dari pola lama ke pola yang baru Fenomena Khusus:
1. Dalam proses perencanaan strategik, Kedua pesantren belum menelaah lingkungan strategiK secara optimal Standar Nasional Pendidikan
UU No. 19 Tahun 2007 tentang Standar Proses RENCANA STRATEGIK MEANINGFULL LEARNING

PEMAKAI LULUSAN SEKOLAH

E. Manfaat Penelitian
Manfaat Penelitian
a. Manfaat bersifat teoritis (akademik)
Secara akademis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pengembangan khazanah ilmu Administrasi pendidikan. Pengembangan tersebut berkaitan dengan perencanaan strategik.
b. Manfaat bersifat praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi dan referensi terhadap Kepala MTs sebagai komponen perumusan kebijakan. Oleh karena itu, hasil penelitian diharapkan menjadi bahan rujukan pengembangan perencanaan strategik pesantren.

II. ACUAN TEORI
A. Konsep Manajemen Strategik
Manajemen Strategik terdiri dari 2 istilah yang masing-masing istilah memiliki definisi. Adapun jika kedua istilah ini dirangkai menjadi satu terminologi, maka akan berubah dan memiliki pengertian tersendiri pula. Maka dari itu, penulis akan memulainya dengan mengutip terlebih dahulu pengertian dari manajemen dan strategik.
Manajemen merupakan upaya yang dilakukan untuk memberdayakan seluruh sumber daya yang dimiliki oleh seseorang atau organisasi demi tercapainya suatu tujuan. Sudjana (dalam Tim Dosen Adpen, 2010:85) mendefinisikan manajemen seperti berikut:
Rangkaian berbagai kegiatan wajar yang dilakukan seseorang berdasarkan norma-norma yang telah ditetapkan dan dalam pelaksanaannya memiliki hubungan dan saling keterkaitan dengan lainnya. Hal tersebut dilaksanakan oleh orang atau beberapa orang yang ada dalam organisasi dan diberi tugas untuk melaksanakan kegiatan tersebut.

Sedangkan tim dosen Administrasi Pendidikan dalam buku pengelolaan Pendidikan merumuskan pengertian manajemen menjadi “kemampuan dan keterampilan khusus yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan suatu kegiatan baik secara perorangan ataupun bersama orang lain atau melalui orang lain dalam upaya mencapai tujuan organisasi secara produktif, efektif dan efisien.”
Sejalan dengan yang dikatakan oleh Veithzal dalam bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan bahwa “manajemen sebagai ilmu dan seni mengatur proses pendayagunaan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya secara efisien, efektif dan produktif merupakan hal yang paling penting untuk mencapai tujuan tertentu.
Perkataan strategik populer pertama kali di lingkungan militer. Dengan kata lain, strategik identik dengan peperangan yang artinya bagaimana caranya agar komandan perang dapat memenangkan peperangan. Dapat dibayangkan jika komandan salah dalam menerapkan strategi peperangan, maka taruhannya adalah nyawa para prajurit. Oleh karena itu, komandan sebagai pemimpin puncak tidak boleh membuat strategi yang keliru jika tidak ingin kalah dalam berperan. Tentu saja di dunia ini tidak ada komandan yang ingin kalah dalam berperang, melainkan komandan tersebut menggunakan strategi untuk memenangkan peperangan yang menjadi tujuan utamanya.
Sama halnya dalam dunia peperangan. Strategik pun dimanfaatkan dalam dunia bisnis atau perusahaan. Seperti yang didefinisikan oleh Hayes dan Weel Wright (dalam Rangkuti,2000:56) yang dikutip oleh Akdon (2009:5) bahwa strategik merupakan suatu cara yang menekankan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan manufaktur dan pemasaran.
Implikasi dari berbagai paradigma baru ialah makin pentingnya penguasaan terhadap manajemen strategik dan menerapkannya secara tepat dalam mengelola organisasi. Hal ini penting bagi seorang manajer masa kini dan masa yang akan datang. Meskipun berbagai sektor memiliki ciri-ciri yang berbeda, baik manajemen peperangan maupun manajemen bisnis, namun manajemen strategik berpengaruh pula dan diterapkan dalam organisasi publik dan organisasi nonprofit termasuk dalam satuan pendidikan.
Secara etimologis (asal kata), penggunaan kata “strategik” dalam organisasi dapat diartikan sebagai kiat, cara, dan taktik utama yang dirancang secara sistematis dalam melaksanakan fungsi-fungsi manajemen, yang terarah pada tujuan strategik organisasi. Menurut Akdon (2009:5) “rancangan yang bersifat sistematik itu, di lingkungan sebuah organsasi disebut perencanaan strategik”
Definisi strategik yang dirumuskan oleh Akdon (2009:12) adalah sebagai berikut:
rencana berskala besar yang berorientasi pada jangka panjang yang jauh ke masa depan serta menetapkan sedemikian rupa sehingga memungkinkan organisasi berinteraksi secara efektif dengan lingkungannya. Dalam kondisi persaingan yang kesemuanya diarahkan pada optimalisasi pencapiaian tujuan dan berbagai sasaran yang bersangkutan.
Secara lebih lanjut Akdon menjelaskan bahwa strategi dapat dipandang sebagai suatu alat yang dapat menentukan langkah organisasi baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Pendapat Vancil (Karhi Nisjar, 1997:95-96) yang dikutip oleh Akdon (2009:13-14) menjabarkan bahwa strategi sebuah organisasi merupakan sebuah konseptualisasi yang dinyatakan atau yang diimplikasi oleh pemimpin lembaga berupa:
 Sasaran-sasaran jangka panjang atau tujuan-tujuan organisasi tersebut
 Kendala-kendala luas dan kebijakan-kebijakan, yang atau ditetapkan sendiri oleh sang pemimpin, atau yang diterimanya dari pihak atasannya, yang membatasi skope aktivitas-aktivitas organisasi yang bersangkutan.
 Kelompok rencana-rencana dan tujuan-tujuanjangka pendek yang telah diterapkan dengan ekspektasi akan diberikannya sumbangsih mereka dalam hal mencapai sasaran-saran organisasi tersebut.
Meninjau pada pendekatannya, Hill & Jones (dalam Akdon, 2009:14) mengklasifikasikan strategi dari 2 sisi yaitu:
a. Pendekatan tradisional (The Traditional Approach)
Berdasarkan pendekatan ini strategi dipandang sebagai pola atau rencana yang mengintegrasikan tujuan utama organisasi, kebijakan-kebijakan dan tahapan tindakan-tindakan yang mengarah pada keseluruhan yang bersifat kohesif atau saling terkait.
b. Pendekatan Baru (The Modern Approach)
Pendekatan baru ini antara lain dikemukakan oleh (Mintzberg, 1985) bahwa strategi merupakan pola di dalam arus keputusan atau tindakan. Lebih jauh Mintzberg menekankan bahwa strategi melibatkna lebih dari sekedar perencanaan seperangkat tindakan. Strategi juga ternyata melibatkan kesadaran bahwa strategi yang berhasil justru muncul dari dalam organisasi. Dalam praktiknya, strategi pada kebanyakan organisasi merupakan kombinasi dari apa yang direncanakan dan apa yang terjadi.

Secara khusus Porter (dalam Akdon, 2009: 15) mengaitkan strategi dengan upaya organisasi untuk mencapai keunggulan bersaing, bahkan dikatakan bahwa “strategi adalah alat penting dalam rangka mencapai keunggulan bersaing”.
Dari pemapan tersebut intisarinya adalah suatu lembaga pendidikan dengan memiliki wewenang untuk mengelola satuan pendidikan, harus memiliki strategi agar dapat mencapai keunggulan bersaingan artinya menampilkan atau menjamin mutu pendidikan bagi pelanggan (orang tua). Dengan meninjau pada pengertian secara terpisah tersebut, maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan manajemen strategik adalah suatu proses yang dilakukan para penyusun strategi menentukan tujuan-tujuan dan juga membuat keputusan-keputusan strategik.
Menurut Wahyudi (dalam Akdon, 2009:5) “manajemen strategik adalah suatu seni dan ilmu dari pembuatan (formulating), penerapan (implementing) dan evaluasi (evaluating) tentang keputusan-keputusan strategis antar fungsi-fungsi yang memungkinkan sebuah organisasi mencapai tujuan-tujuan masa mendatang”.
Selain itu pendapat pakar lainnya tentang manajemen strategik diungkapkan oleh Nawawi (2003:149), dalam Akdon (2009:10-11) seperti berikut:
perencanaan berskala besar (disebut perencanaan strategik) yang berorientasi pada jangkauan masa depan yang jauh (disebut visi) dan ditetapkan sebagai keputusan manajemen puncak (keputusan yang bersifat mendasar dan prinsipil), agar memungkinkan organisasi berinteraksi secara efektif (disebut misi), dalam usaha menghasilkan sesuatu (perencanaan operasional untuk menghasilkan barang/jasa serta pelayanan) yang berkualitas, dengan diarahkan pada optimalisasi pencapaian tujuan (disebut tujuan strategik dan berbagai sasaran (tujuan operasional) organisasi.
Akdon (2009, 11) menjelaskan bahwa manajemen strategik adalah suatu system yang merupakan satu kesatuan yang memiliki berbagai komponen yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi,d an bergerak secara serentak kea rah yang sama pula. Lebih rinci Akdon memaparkan bahwa komponen-komponen tersebut yakni:
Komponen pertama adalah perencanaan strategik dengan unsure-unsurnya yang terdiri dari visi, misi, tujuan strategik dan strategik utama (induk) organisasi. Komponen kedua adalah perencanaan operasional, di antaranya pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen berupa fungsi pengorganisasian, fungsi pelaksanaan dan fungsi penganggaran, kebijakan situasional, jaringan kerja (network) internal dan eksternal, fungsi control dan evaluasi serta umpan balik.
Implikasi dari definisi tersebut, maka penguasaan berbagai teori manajemen strategik dan menerapkannya secara tepat dalam mengelola organisasi menjadi penting, tak terkecuali bagi manajer masa kini dan masa yang akan datang pada organisasi publik dan organisasi nonprovit.
Akdon mempertegas pernyataan mengenai manajemen strategik sebagai “isu penting yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang dengan memperhatikan berbagai unsur yang dimiliki ole organisasi”. Hit dan Ireland (dalam Akdon, 2009:18) menaksir bahwa “dalam praktiknya manajemen strategik merupakan suatu peruses yang membantu organisasi untuk mengidentifikasi apa yang ingin dicapai oleh mereka.”
Adapun empat prinsip penerapan manajemen strategik pada sector publik menurut Bozemen dan Straussman (dalam Akdon, 2009, 87) yaitu:
 Perhatian pada jangka panjang
 Pengintegrasian tujuan dan sasaran dalam hirarki yang jelas
 Kesadaran bahwa manajemen strategik da perencanaan strategik membutuhkan kedisiplinan dan komitmen untuk dapat dilaksanakan dan tidak self-implementing
 Persfektif eksternal tidak diartikan sebagai adaptasi total terhadap lingkungan tapi merupakan antisipasi terhadap perubahan lingkungan.

B. Konsep Perencanaan Strategik
Perencanaan strategik merupakan rangkaian dua istilah yang terdiri dari kata “perencanaan dan strategik” yang memiliki masing-masing pengertian, yang setelah dirangkaikan menjadi satu terminologi maka berubah dengan memiliki pengertian tersendiri pula. Oleh karena itu penulis akan mengutip terlebih dahulu pengertian perencanaan.
Dalam Undang-undang No. 25 Tahun 2004 Pasal 1, perencanaan didefinisikan sebagai suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia.
Arti perencanaan menurut Louis E. Boone dan David L. Kurtz (1984) yang dikutip Uhar Suharsaputra (2010:9) “planning may be defined as tehe process by which manager set objective, asses the future, and develop course of action designed to accomplish these objective” yang mana memiliki intisari bahwa perencanaan merupakan proses yang mencakup penentuan tujuan yang layak serta bagaimana cara mencapai tujuan tersebut.
Berdasarkan pemikiran ini, penentuan tujuan menjadi syarat mutlak dalam sebuah rencana, hal ini dikarenakan tujuan itu merupakan sesuatu yang harus dicapai, maka dari itu perlulah penentuan cara untuk mencapaianya sesudah memahami tentnag kondisi lingkungan di mana organisasi itu berada.
Tim dosen Administrasi Pendidikan (2009:93) merumuskan definisi tentang kegiatan merencanakan dalam organisasi sebagai “suatu proses memikirkan dan menetapkan secara matang arah, tujuan dan tindakan sekaligus mengkaji berbagai sumber daya dan metode/teknik yang tepat.”
Menurut Udin S. Sa’ud (2005:3) perencanaan adalah suatu rangkaian proses kegiatan menyiapkan keputusan mengenai apa yang diharapkan terjadi (peristiwa, keadaan, suasana, dan sebagainya). Lebih jauh Udin merumuskan tentang fungsi perencanaa yaitu sebagai pedoman pelaksanaan, dan pengendalian, menghindari pemborosan sumber daya, alat bagi pengembangan quality assurance dan upaya untuk memenuhi accountability kelembagaan.
Adapun menurut William G.Cunningham (1982) yang dikutip Made Pidarta (2005:1) mengatakan bahwa:
perencanaan itu ialah menyeleksi dan menghubungkan pengetahuan, fakta-fakta, imajinasi-imajinasi dan asumsi-asumsi untuk masa yang akan datang untuk tujuan memvisualisasikan dan memformulasi hasil yang diinginkan, urutan kegiatan yang diperlukan dan perilaku dalam batas-batas yang diterima yang akan digunakan dalam penyelesaian.
Keberadaan suatu rencana sangat penting bagi organisasi sebagaimana yang disebutkan oleh Tim Dosen Administrasi pendidikan, bahwa rencana berfungsi untuk:
1. Menjelaskan dan merinci tujuan yang ingin dicapai
2. Memberikan pegangan dan menetapkan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut
3. Organisasi memperoleh standar sumber daya terbaikd an mendayagunakan sesuai tugas pokok fungsi yang telah ditetapkan
4. Menjadi rujukan anggota organisasi dalam melaksanakan aktivitas yang konsisten prosedur dan tujuan
5. Memberikan batas kewenangan dan tanggung jawab bagi seluruh pelaksana
6. Memonitor dan mengukur berbagai keberhasilan secara intensif sehingga bisa menemukan dan memperbaiki penyimpangan secara dini
7. Memungkinkan untuk terpeliharanya persesuaian antara kegiatan internal dengan situasi eksternal
8. Menghindari pemborosan.
Sejalan dengan pemikiran tersebut Udin S. Sa’ud (2005:33) memandang perencanaan menjadi penting dan diperlukan bagi suatu organisasi, hal ini dikarenakan oleh sebagai berikut:
1. Dengan adanya perencanaan diharapkan tumbuhnya suatu pengarahan kegiatan, adanya pedoman bagi pelaksana kegiatan-kegiatan yang ditujukan kepada pencapaian tujuan pembangunan
2. Dengan perencanaan, maka dapat dilakukan suatu perkiraan (forecasting) terhadap hal-hal dalam masa pelaksanaan yang akan dilalui. Perkiraan dilakukan mengenai potensi-potensi dan prospek-prospek perkembangan tetapi juga mengenai hambatan-hambatan dan risiko-risiko yang mungkin dihadapi. Perencanaan mengusahakan supaya ketidakpastian dapat dibatasi sedini mungkin.
3. Perencanaan memberikan kesempatan untuk memilih kombinasi cara yang terbaik (the best alternative) atau kesempatan untuk memilih kombinasi cara yang terbaik (the best combination)
4. Dengan perencanaan dilakukan penyusunan skala prioritas. Memilih urutan-urutan dari segi pentingnya suatu tujuan, sasaran maupun kegiatan usahanya
5. Dengan adanya rencana, maka akan ada suatu alat pengukur atau standar untuk mengadakan pengawasan atau evaluasi kinerja usaha atau organisasi, termasuk pendidikan.
Husein Umar (Strategik Management in Action, 2008, 14) Suatu rencana lembaga dapat dilakukan dengan beberapa alternatif pendekatan. Berikut ini adalah keempat macam pendekatan utama untuk pembuatan suatu perencanaan:
1. Pendekatan atas-bawah (top-down)
Perencanaan dengan pendekatan ini dilakukan oleh pimpinan organisasi. Unit organisasi di bawahnya hanya melaksanakan apa saja yang telah direncanakan. Untuk lembaga yang menganut system desentralisasi, pimpinan puncak memberikan pengarahan dan petunjuk kepada pemimpin cabang ataus ejenisnya agar menyusun rencana yang pada tahapannya akan ditinjau dan dikoreksi oleh pimpinan puncak sebelum disetujui untuk direalisasikan
2. Pendekatan bawah-atas (bottom-up)
Perencanaan dengan pendekatan ini dilakukan pemimpin puncak dengan cara memberikan gambaran situasi dan kondisi yang dihadapi organisasi termasuk mengenai visi, misi, tujuan, sasaran, dan sumber daya yang dimiliki. Langkah selanjutnya adalah memberikan kewenangan kepada manajemen di tingkat bawahnya untuk menyusun rencana
3. Pendekatan campuran
Dalam kenyataan, proses perencanaan yang murni Atas-Bawah, atau Bawah-Atas relatif sulit ditemukan, yang dominan adalah kombinasi (campuran) di antara keduanya, walaupun dengan presentase yang relative. Dengan pendekatan ini, pemimpin memberikan petunjuk perencanaan organsasi secara garis besar, sedangkan rencana detailnya diserahkan kepada kreativitas unit lembaga di bawahnya dengan tetap mematuhi aturan yang ada
4. Pendekatan kelompok
Dengan pendekatan ini, perencanaan dibuat oleh sekelompok tenaga ahli dalam lembaga. Oleh karena itu, di dalam lembaga dibentuk semacam biro atau bagian khusus seperti biro perencanaan. Dalam pemerintahan kita misalnya Bappenas. (Badan Perencanaan Nasional)

Adapun Fungsi utama rencana atau perencanaan manajemen suatu organisasi dalam Strategik Management in Action (Husein Umar, 2008:15-16) adalah sebagai berikut:
1. Penerjemah kebijakan umum
Kebijakan umum lembaga ditetapkan oleh manajemen puncak di mana untuk melaksanakannya diperlukan suatu tahap penerjemahan agar menjadi lebih konkret, jelas, komprehensif dan bertahap
2. Perkiraan yang bersifat ramalan.
Perencanaan berhubungan dengan perkiraan-perkiraan ke masa depan bukan ke amsa lalu. Apa yang terjadi di msa depan harus diramalkan dengan analisis ilmiah serta didasarkan pada fakta dan data masa lalu dan masa sekarang
3. Berfungsi ekonomi
Oleh karena kemampuan sumber daya yang tersedia sangat terbatas, maka penggungaan sumber daya itu hendaklah direncanakan melaluui perhitungan yang matang, agar dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan
4. Memastikan suatu kegiatan
Agar pencapaian tujuan dapat dilaksanakan dengan baik oleh setiap orang dalam organsasi, perlu disusun rencana yang mengatur hak dan kewajiban, tugas dan tanggung jawab serta wewenang mereka. Dengan rencana yang jelas, mereka akan bekerja dengan penuh kepastian.
5. Alat koordinasi
Dalam pelaksanaan fungsi manejemen dalam mencapai tujuan lembaga. Agar pelaksanaan koordinasi dapat berjalan lancer, maka salah satu alat yang dapat membantu kegiatan ini dalah rencana kerja. Dengan alat ini setiap orang mengetahui tugas dan tanggung jawabnya msing-masing, bagaimana kaitan satu pekerjaan dengan pekerjaan yang lain, kapan dan bagaimana suatu pekerjaan dikerjakan dan seterusnya, sehingga masing-masing kegiatan di perusahaan menjadi terpadu atau harmonis dalam rangka mencapai tujuan lembaga.
6. Alat/sarana pengawasan.
Pengawasan diperlukan oleh manajer untuk mengetahui apakah suatu kegiatan yang telah dilakukan hasilnya memuaskan. Untuk mengukur apakah realisasi kerja telah sesuai atau belum, salah satu alat yang dapat dipakai sebagai tolak ukur dalam melakukan pengawasan da n pengendalian adalah rencana yang dibuat sebelumnya.

Sementara itu macam-macam perencanaan menurut Husein Umar (2008, 16-17) proses perencanaan untuk menghasilkan suatu rencana atau rencana-rencana dapat dilihat dari beberapa sisi penting, yaitu dari sisi jangka waktu manfaat rencana, dari sisi fungsinya, yaitu dari sisi strategis dan operasional.
1. Sisi Jangka Waktu
Pada umumnya dikenal 3 bentuk perencanaan jika dilihat dari waktu yang digunakan untuk pengaplikasian suatu rencana, yaitu:
a. Perencanaan jangka panjang.
Rencana ini akan menjangkau waktu sekitar 20-30 tahun ke depan. Perencanaannya masih berbentuk garis-garis besar yang bersifat sangat strategis dan umum. Perencanaan ini tidak dapat langsung dipakai sebagai pedoman kerja. Oleh karena itu perlu dijabarkan dalam bentuk perencanaan jangka menengah.
b. Perencanaan Jangka Menengah
Biasanya menjangkau waktu sekitar 3-5 tahun ke depan. Perencanaan jangka panjang akan dipecah-pecah menjadi beberapa pelaksanaan perencanaan jangka menengah, sehingga setiap tahap hendaknya disesuaikan dengan prioritas. Sifat perencanaan ini lebih konkret dan sasaran yang akan dicapai jelas.
c. Perencanaan Jangka Pendek
Biasanya menjangkau waktu paling lama satu tahun. Bahkan perencanaan ini dapat dibuat dalam jangka waktu bulanan atau tengah taun. Perencanaan ini lebih konkret dan lebih rinci, lebih terukur dan sasaran yang harus dicapai lebih jelas, termasuk dalam hal penggunaan sumber daya, metode pelaksanaan, serta waktu mulai dan selesainya tiap-tiap kegiatan yang masuk dalam pencana tersebut.
2. Sisi tingkatan manajemen
Pada umumnya membagi perencanaan dari sisi tingkatan manajemen terbagi menjadi dua, yaitu perencanaan strategis dan perencanaan opersional.
a. Perencanaan strategis.
Merupakan bagian dari manajemen strategis. Manajemen strategis adalah seni dan ilmu untuk pembuatan (formulating), penerapan (implementing), dan evaluasi (evaluating) keputusan-keputusan strategis antarfungsi yang memungkinkan sebuah organisasi mencapai tujuan di masa datang. Jadi, perencanaan strategis lebih terfokus pada bagaimana manajemen puncak menentukan visi, misi, falsafah dan strategi lembaga untuk mencapai tujuan lembaga dalam jangka panjang.
b. Perencanaan operasional
Merupakan bagian dari strategi operasional yang lebih mengarah pada bidang fungsional lembaga dalam rangka untuk memperjelas makna suatu strategi utama dengan identifikasi rincian yang sifatnya spesifik dan berjangka pendek. Strategi ini menjadi penuntun dalam melakukan berbagai aktivitas sehingga konsisten bukan hanya dengan strategi utama yang telah ditentukan, tetapi juga dengan strategi di bidang fungsional lainnya.

Maka dari itu, jika dipantau dari sisi tingkatan manajemennya, perencanaan strategis merupakan fungsi manajemen pertama dari manajemen strategik. Perencanaan strategik merupakan bagian dari manajemen strategik. Dengan begitu konsep dasar perencanaan strategik terdapat pada teori-teori manajemen strategik.
Nawawi (2003:149), dalam Akdon (2009:10-11) mendefinisikan manajemen strategik sebagai:
perencanaan berskala besar (disebut perencanaan strategik) yang berorientasi pada jangkauan masa depan yang jauh (disebut visi) dan ditetapkan sebagai keputusan manajemen puncak (keputusan yang bersifat mendasar dan prinsipil), agar memungkinkan organisasi berinteraksi secara efektif (disebut misi), dalam usaha menghasilkan sesuatu (perencanaan operasional untuk menghasilkan barang/jasa serta pelayanan) yang berkualitas, dengan diarahkan pada optimalisasi pencapaian tujuan (disebut tujuan strategik dan berbagai sasaran (tujuan operasional) organisasi.

Dari beberapa pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan rencana strategik adalah suatu alat manajemen (management tools) yang bertujuan membantu organisasi membuat rencana untuk masa yang akan datang. Rencana strategik dapat dilihat sebagai formulasi secara komprehensif (menyeluruh) atau “peta jalan” yang menjelaskan bagaimana usaha-usaha dilakukan untuk mencapai tujuan melalui penerapan strategi-strategi yang dipilih.
Di bawah ini adalah beberapa manfaat Rencana Strategis yang dikutip dari Kementrian Pendidikan Nasional dalam buku yang berjudul Panduan bagi Tim Penyusun Renstra (2010, 15-16):
1. Sebagai respons terhadap semakin kompleksnya lingkungan Rencana Strategis mengantisipasi terhadap perubahan dan kecenderungan serta tuntutan kebutuhan.
2. Sebagai alat penting manajerial suatu organisasi. Setiap tahun organisasi dituntut mencapai tujuan dan menyempurnakan hasil (outcome) yang dicapai. Setiap organisasi harus fokus, bekerja secara efisien, efektif, terbuka dan partisipatif dengan pemangku kewajiban (kepentingan) lain. Rencana Strategis memungkinkan organisasi mengembangkan suatu sistem yang secara terus menerus melakukan perbaikan pada semua tingkatan manajemen
3. Perencanaan Strategis membantu mempertajam dan memandu arah organisasi ke depan, apa dan mengapa suatu kegiatan akan dikerjakan. Pemantauan dan analisis berdesarkan data yang benar merupakan satu dimensi sangat penting dalam rangka perencanaan dan perencanaan berbasis hak.
4. Membangun komunikasi antar pemangku kewajiban (kepentingan) dan antar pemangku kewajiban dengan Dinas Pendidikan. Perencanaan strategis membuat orang-orang yang memiliki tujuan dan kewajiban (kepentingan) yang sama berkumpul dan merencanakan masa depan organisasi. Tidak mudah suatu pengambilan keputusan yang melibatkan orang-orang yang berbeda dan memiliki pandangan yang berbeda terhadap masa depan. Perencanaan strategis memfasilitasi partisipasi serta komunikasi yang lebih baik, mengakomodasi tata nilai dan keinginan yang berbeda, dan mencari pengambilan keputusan secara bertahap.
5. Perencanaan strategis mudah diadaptasi. Penyusunan Renstra menggunakan metode untuk menentukan kemajuan dan akses kebenaran rencana (validity) serta mempertahankan fleksibilitas rencana.
6. Perencanaan Strategis menentukan hal-hal yang diperlukan organisasi untuk memenuhi hak-hak pemangku hak (yaitu: anak anak dengan pelayanan pendidikan yang bermutu).

C. Turney dan D. Smith (1992) dalam karyanya yang berjudul Planning Role yang dikutip Uhar suharsaputra (2010:9) menyatakan bahwa dalam melaksanakan perencanaan, manajer sekolah harus melaksanakan hal-hal sebagai berikut:
1. visioning and formulating school mission
2. Making policy and setting goal
3. designing programmes
4. determaningand allocating of resources
5. modifying policy and plan
Nampaknya langkah-langkah tersebut harus dilakukan secara sistematis dan hierarkis. Kegiatan membuat kebijakan tidak bisa dilakukan tanpa pemimpin melakukan formulasi terlebih dahulu terhadap visi dan misinya.
Unsur-unsur perencanaan strategis yang dikemukakan oleh Veithzal (2004, 86) antara lain: “mendefinisikan filosofi organisasi sebagai langkah awal, mengkaji kondisi lingkungan, mengevaluasi kekuatan dan kelemahan, menentukan tujuan dan sasaran dan menyusun strategi akhir”. Sementara itu, kerangka kegiatan perencanaan strategik secara sistematis menurut Akdon dalam bukunya yang berjudul Strategik Management for Educational Management (Manajemen Strategik untuk Manajemen Pendidikan) terdiri dari perumusan visi, misi dan nilai-nilai, telaah lingkungan strategik, analisis strategik dan kunci keberhasilan serta menetapkan tujuan, sasaran dan strategik organisasi (yang berisi kebijakan, program dan kegiatan).
• Perumusan Visi, Misi dan Nilai-nilai
Visi, misi dan nilai-nilai merupakan hal yang fundamental bagi suatu organisasi. Hal ini merupakan bagi organisasi pada saat melaksanakan fungsinya. Organisasi akan berjalan dengan prima apabila seluruh anggota organisasi menginternalisasi visi, misi dan nilai-nilai organisasi ke dalam dirinya. Berikut ini merupakan penjelasan dari perumusan visi, misi dan nilai-nilai:
a. Visi
Langkah awal dalam proses perencanaan strategik adalah merumuskan visi. Akdon (2009:94) mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan visi adalah “gambaran tentang masa depan (future) yang realistik dan ingin diwujudkan dalam kurun waktu tertentu (dapat mengisyaratkan adanya misi dan tantangan)”
Hax dan Majluf (1984:45) yang dikutip oleh Akdon dalam bukunya yang berjudul Strategik Management in Action (2009:95) merumuskan bahwa visi adalah pernyataan yang merupakan sarana untuk:
 Mengkomunikasikan alasan keberadaan organisasi dalam arti tujuan dan tugas pokok
 Memperlihatkan framework hubungan antara organisasi dengan stakeholders (sumber daya manusia organisasi, konsumen/citizen, pihak lain yang terkait)
 Menyatakan sasaran utama kinerja organisasi dalam arti pertumbuhan dan perkembangan.
Lebih lanjut Akdon (2009:96) menjabarkan kriteria-kriteria pembuatan visi yang meliputi:
 Visi bukanlah fakta, tetapi gambaran pandangan ideal masa depan yang ingin diwujudkan
 Visi dapat memberikan arahan mendorong anggota organisasi untuk menunjukkan kinerja yang baik
 Dapat menimbulkan inspirasi dan siap menghadapi tantangan
 Menjembatani masa kini dan masa mendatang
 Gambaran yang realistic dan kredibel dengan masa depan yang menarik
 Sifatnya tidak statis dan tidak untuk selamanya.
b. Misi
Misi merupakan penjabaran visi atau cara-cara yang dilakukan untuk mencapai visi. “Misi adalah pernyataan mengenai hal-hal yang harus dicapai organisasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan di masa datang”. (Akdon, 2009:97). Dalam misi nampaknya tersurat dengan jelas tentang pekerjaan atau tugas pokok yang diemban suatu organisasi dan yang diinginkan dalam kurun waktu tertentu. Misi juga mewakili alasan dasar untuk berdirinya organisasi.
Secara lebih tegas, Akdon (2009:98) merumuskan syarat pembuatan sebuah misi, antara lain:
 Menunjukkan secara jelas mengenai apa yang hendak dicapai oleh organsasi dan bidang kegiatan utama dari organisasi yang bersangkutan
 Secara eksplisit mengandung apa yang harus dilakukan untuk mencapainya
 Mengundang partisipasi masyarakat luas terhadap perkembangan bidang utama yang digeluti organisasi.
Sedangkan kriteria pembuatan misi menurut Akdon (2009:99) meliputi:
 Penjelasan tentang pelayanan yang ditawarkan sangat diperlukan oleh masyarakat
 Harus jelas memiliki sasaran publik yang akan dilayani
 Kualitas produk dan pelayanan yang ditawarkan memiliki daya saing yang meyakinkan masyarakat
 Penjelasan aspirasi bisnis yang diinginkan pada masa datang juga manfaat dan keuntungannya bagi masyarakat dengan produk dan pelayanan yang tersedia.
c. Nilai-nilai
Menurut Akdon (2009:100) nilai-nilai merupakan “kriteria tentang kebaikan dan kebenaran yang diyakini dan diterapkan dalam kehidupan organsasi, sehingga menjadi norma yang diyakini dalam kehidupan individu.”
Adapun kriteria yang diungkapkan Akdon (2009:101) adalah seperti berikut:
 Kriteria tentang kebaikan dan kebenaran yang diyakini dan diterapkan dalam kehidupan organisasi
 Faktor penggerak perilaku organisasi dan mendorong keunggulan karyawan/individu dalam organisasi
 Mampu mengklarifikasi ekspektasi kinerja mutu
 Menghargai pelanggan, supplier, vendor dan masyarakt luas
 Perilaku pimpinan seharihari sebagai teladan
 Sangat menentukan pencapaian misi dan visi
Nilai yang dimiliki oleh individu dan organisasi sangat menentukan tercapainya visi dan misi. Oleh karenanya strategi harus sesuai dengan kemampuan sumber daya manusia dan nilai (values) yang dimiliki organisasi kearena merupakan kekuatan selama mencapai tujuan jangka panjang organisasi.
Berikut ini beberapa nilai-nilai (values) yang penting menurut Akdon (2009:103):
 Togetherness, bekerja dalam kebersamaan jauh lebih baik daripada sendiri-sendiri
 Empathy, memahami dan ikut merasakan masalah yang dihadapi orang lain
 Assist, kesediaan untuk selalu memberikan bantuan secara ikhlas
 Maturity, kematangan dalam mengatasi permasalahan maupun tantangan bersama
 Willingness, kesediaan bekerjasama berdasarkan persahabatan atau kooperatif
 Organizational, berperilaku secara organisasional yakni berinteraksi satu sama lain dalam memecahkan masalah ataupun krisis
 Respect, saling menghormati serta menghargai terhadap sesame
 Kindness, berperilaku santun, rendah hati, serta selalu memberikan kesejukan dalam setiap pertemuan
 Integritas, menanamkan rasa hormat kepada orang lain, kemantapan pribadi
 Inovatif, menjaga dan melanjutkan tradisi inovasi, mau dan dapat mengadakan pembaharuan sesuai tantangan
 Keunggulan, keyakinan untuk selalu menjadi terbaik
 Flexibility, resilience, mastering change, memiliki ketahanan dan menguasai perubahan
 Wisdom, kearifan
 Beretika, menyelenggarakan kegiatan dengan jujur dan tulus, menjamin perlakuan yang adil dan sama terhadap karyawan dan menyediakan informasi yang lengkap dan tepat
 Responsive, mengenali harapan masyarakat dan memenuhi janji secara tepat waktu, menunjukkan rasa hormat kepada semua karyawan, memberikan komitmen dan mendorong partisipasi karyawan dalam pelayanan masyarakat
 Rasa memiliki, mengenali harapan masyarakat dan memenuhi janji secara tepat waktu.

• Telaah Lingkungan Strategik
Strategi yang tepat dan valid dapat diperoleh jika didasarkan kepada suatu analisis lingkungan strategik. Adapun tujuan kegiatan menelaah lingkungan menurut Akdon (2009:107) adalah “untuk mengenali kekuatan dan kelemahan internal organisasi dan memahami peluang dan tantangan eksternal organisasi sehingga organisasi dapat mengantisipasi perubahan-perubahan di masa yang akan datang.”
LAN RI (2004:95) dalam Akdon (2009,107) menyebutkan beberapa manfaat dari telaah lingkungan strategik antara lain:
 Mendeteksi perubahan-perubahan dan peristiwa-peristiwa penting, khususnya berkaitan dengan bidang social, politik, ekonomi, dan kemajuan ilmu pengetahuan danteknologi
 Mendefiniskan tantangan, peluang atau perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh peristiwa-peristiwa penting tersebut di atas, terhadap organisasi
 Memberikan informasi mengenai orientasi masa depan kepada setiap jajaran pimpinan dan staf
 Memberikan sinyal kepada seluruh jajaran tentang apa yang harus diperbuat terhadap organisasi
Adapun 3 langkah utama dalam telaah lingkungan strategik menurut Bryson (dalam LAN-RI, 2004:95-96) yang dikutip oleh Akdon (108-10) yaitu:
 Mengidentifikasi Sumber-sumber untuk melakukan scanning
Langkah awal dalam dalam telaah lingkungan adalah melakukan identifikasi berbagai sumber untuk melakukan telaah lingkungan strategik. Sumber-sumber ini pada dasarnya dibagi menjadi tiga level, yaitu task environment, organisasi environment serta macro environment. Lebih lanjut disebutkan bahwa task environment adalah sumber yang berkaitan dengan tugas-tugas (tupoksi), missalnya struktur organisasi dan kapasitas organisasi. Organisasi environment berkaitan dengan berbagai organisasi lain yang memiliki keterkaitan satu dengan lainnya baik organisasi publik maupun privat. Macro environment merupakan level yang paling luas. Level ini meliputi sector social, politik, ekonomi serta ilmu pengetahuan dan teknologi dan yang dapat memberikan pengaruh terhadap organisasi baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dengan mengetahui keberadaan sumber-sumber tersebut akan mempermudah langkah selanjutnya dari telaah lingkungan strategik yaitu scanning terhadap lingkungan internal dan eksternal.
 Melakukan scanning terhadap lingkungan internal dan eksternal
Sebelum suatu organisasi membuat rencana hari depan, organisasi harus menentukan di mana ia sekarang berada. Mekanisme yang digunakan untuk mengukur kondisi di dalam dan di luar organisasi, dilakukan dengan jalan menjawab “di mana kita sekarang berada” hal itu merupakan penilaian internal dan eksternal organisasi. Inilah inti dari kegiatan scanning terhadap lingkungan internal dan eksternal. Penilaian internal dan eksternal adalah suatu telaah dan identifikasi tentang kondisi internal dan data eksternal, serta faktor yang mempengaruhi organisasi.
 Melakukan analisis untuk menilai hasil scanning
Hasil dari kegiatan tahap ini adalah penilaian terhadap hasil scanning. Penilaian biasanya difokuskan pada sisi input yang dibutuhkan dan output yang dikeluarkan oleh instansi. Pada sisi input umumnya berupa antara lain: anggaran yang dipergunakan oleh instansi, jumlah pegawai dan aspek lain. Sedangkan pada sisi output, umumnya berupa jumlah pelanggan dan lainnya.

• Analisis Strategik dan Kunci Keberhasilan
Analisis lingkungan strategik dan faktor kunci keberhasilan merupakan langkah-langkah lanjutan setelah tahapan telaah strategik dan akan diikuti dengan tahapan penetapan tujuan, sasaran dan strategi organisasi. Analisis lingkungan strategik dan faktor kunci keberhasilan terdiri dari dua langkah, yaitu analisis pilihan asumsi strategi dan faktor-faktor kunci keberhasilan.
Misi organisasi secara tegas menyatakan apa yang harus dicapai oleh organisasi dan kegiatan-kegiatan spesifik apa yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan. 2 pertanyaan ini akan dijawab pada tahapan ini.
Strategik diartikan oleh Akdon (2009, 130) sebagai:
pedoman atau aturan bagaimana memanfaatkan sumber daya yang terbatas, dengan terus menerus secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan dalam kurun waktu tertentu, dengan sangat memperhatikan faktor lingkungan internal dan eksternal.

Sedangkan lebih lanjut faktor kunci keberhasilan diartikan ebagai faktor-faktor yang sangat berpengaruh dan berfungsi untuk lebih memfokuskan strategi organisasi dalam rangka pencapaian misi dan visi secara efektif dan efisien. Faktor-faktor kunci keberhasilan tersebut antara lain berupa potensi, peluang, kekuatan, tantangan, kendala dan kelemahan yang dihadapi termasuk sumber daya, dana, sarana dan prasarana, peraturan perundang-undangan, dan kebijakan yang digunakan instansi pemerintah dalam kegiatan-kegiatannya.
Pada tahap ini, analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan digunakan untuk mengevaluasi dan mengakomodasi hasil analisis sebelumnya. Dalam rangka menentukan asumsi-asumsi strategi, maka dibuat matriks SWOT. Dengan demikian dapat diperoleh serangkaian pilihan strategi. Lalu, penetapan faktor-faktor kunci keberhasilan urutan pilihan asumsi strategi yang memperoleh skor tertinggi, setelah itu diformulasikan dengan menghubungkan dengan faktor SWOT yang mempengaruhinya.

• Penetapan Tujuan, Sasaran dan Strategik Organisasi
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa komponen dalam rencana strategik paling tidak terdiri dari visi, misi, tujuan, sasaran dan strategi (cara mencapai tujuan dan sasaran). Rencana strategik di dalamnya meliputi penetapan tujuan, sasaran dan strategik organisasi yang berisi kebijakan, program dan kegiatan.
Setiap faktor kunci-kunci keberhasilan dirinci lebih lanjut menjadi beberapa tujuan dan tiap-tiap tujuan dirinci menjadi beberapa sasaran dan masing-masing sasaran memiliki beberapa strategik yang dituangkan dalam kebijakan, program dan kegiatan (Akdon, 2009,143).
a. Penetapan Tujuan
Dalam kerangka piker manajemen strategik, tujuan tidak harus merupakan target-target yang bersifat kuantitatif dari suatu organisasi.
Berikut ini merupakan criteria tujuan yang dirumuskan oleh Akdon (2009, 144):
 Tujuan harus serasi dan mengklarifikasi misi, visi dan nilai-nilai organisasi
 Pencapaian tujuan akan dapat memenuhi atau berkontribusi memenuhi misi, program, dan sub program organisasi
 Tujuan akan menjangkau hasilhasil penilaian lingkungan internaleksternal dan yang diprioritaskan, serta mungkin dikembangkand alam merespon isu-isu strategik
 Tujuan cenderung untuk secara esensial tidak berubah, kecuali terjadi pergeseran lingkungan atau dalam hal isu strategik hasil yang diinginkan telah dicapai
 Tujuan biasanya secara relative berjangka panjang, yaitu sekurang-kurangnya 3 tahun atau lebih. Naum demikian, pada umumnya jangka waktu tujuan disesuaikan dengan tingkat organisasi, kondisi, posisi dan lokasi
 Tujuan harus dapat mengatasi kesenjangan antara tingkat pelayanan saat ini dengan yang diinginkan
 Tujuan menggambarkan hasil program atau sub program yang diinginkan
 Tujuan menggambarkan arah yang jelas dari organisasi, program dan sub program, tetapi belum menetapkan ukuran-ukuran spesifik atau strategi
 Tujuan harus menantang, namun realistic dan dapat dicapai.
b. Sasaran Organisasi
Sasaran organisasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam perencanaan strategik. Sasaran harus bersifat SMART (specific, measurable, aggressive and attainable, result-oriented, time bound). Sasaran organisasi merupakan penggambaran hal yang ingin diwujudkan melalui tindakan-tindakan yang diambil organisasi guna mencapai tujuan. (Akdon, 2009, 146)
Adapun proses perumusan sasaran yang ditawarkan oleh Akdon (2009, 149) adalah “mereview misi dan tujuan, menetapkan hasil yang diinginkan, menetapkan suatu kerangka waktu bagi pencapaian hasil, membangun akuntabilitas.”
c. Strategi Organisasi
Strategi organisasi meliputi kebijakan, program dan kegiatan manajemen untuk melaksanakan misi organisasi. Adapun batasan tentang strategi organisasi menurut Akdon (2009, 150) adalah suatu pernyataan mengenai arah dan tindakan yang diinginkan oleh organisasi di waktu yang akan datang. Lebih lanjut Akdon mempertegas bahwa “strategi merupakan terjemahan pemikiran kepada tindakan yang diarahkan pada penyelenggaraan operasional sehari-hari dari seluruh komponen dan unsur organisasi.”
Maka dapat penulis cermati bahwa pada tahap inilah rencana strategis diperjelas makna dan hakikatnya, khususnya pada sasaran tahunan dengan identifikasi rincian yang sifatnya spesifik tentang bagaimana pimpinan harus mengelolanya.
Berikut ini merupakan penjelasan dari kebijakan, program dan kegiatan:
– Kebijakan
Kebijakan yaitu pedoman pelaksanaan tindakan-tindakan tertentu. Akson (2009, 154) memaparkan bahwa kebijakan merupakan kumpulan keputusan yang
menentukan secara teliti bagaimana strategik akan dilaksanakan, mengatur suatu mekanisme tindakan lanjutan untuk pelaksanaan pencapaian tujuan dan sasaran, menciptakan kebijakan di mana setiap pejabat dan pelaksana di organisasi mengetahui apakah memperoleh dukungan untuk bekerja dan mengimplementasikan keputusan.

– Program Organisasi
Ciri-ciri dari program operasional dijabarkan oleh Akdon (2009, 155) seperti berikut ini:
 Program kerja opersional pada dasarnya merupakan upaya untuk implementasi strategi organisasi
 Program kerja operasional merupakan proses penentuan jumlahd an jenis sumber daya yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan suatu rencana
 Program operasional merupakan penjabaran ril tentang langkah-langkah yang diambil untuk menjabarkan kebijakan
 Program operasional dapat bersifat jangka panjang dan menengah (3-5 tahun) atau bersifat tahunan saja
 Program kerja operasional tidak terlepas dari kebijakan yang telah ditetapkan sebelumnya
 Program kerja operasional didasarkan atas perumusan visi, misi, tujuan, sasaran dan kebijakan yang telah ditetapkan.
– Kegiatan Organisasi
Kegiatan organisasi merupakan rangkaian aktivitas yang dirancang yang diarahkan pada pencapaian tujuan organsasi. Sejalan dengan yang diutarakan oleh Akdon (2009, 156) bahwa kegitan organisasi merupakan penjabaran kebijakan sebagai arah dari pencapaian tujuan dan sasaran yang memberikan kontribusi bagi pencapaian visi dan misi organisasi.
Kegiatan organisasi perlu diletakkan dalam rencana operasional. Hal ini penting menurut Akdon (2009, 157) dikarenakan hal-hal berikut:
 Rencana operasional adalah tindakan di mana hasil yang actual dari suatu program dilaksanakan
 Rencana opersional menggambarkan siapa yang akan bertanggung jawab atas setiap langkah dan kapan langkah tersebut selesai.
 Proses berikut adalah suatu cara mengelola rencana operasional: merinci rencana opersional dalam langkah-langkah
 Menentukan penanggungjawab bagi implementsi rencana operasional, mengatur kerangka waktu bagi penyelesaian rencana operasional dan menentukan sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakannya.

Dengan begitu, kegiatan juga berfungsi sebagai bahan untuk evaluasi dan memperbaiki program organisasi yang telah dirumuskan pada tahapan sebelumnya. Hal ini dikarenakan strategik bersifat dinamis, yang memungkinkan organisasi mengimplementasikan strategi baru untuk mencapai tujuan organisasi.

III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Entry, Latar Penelitian, Sumber Data dan Satuan Kajian
Penelitian ini mengambil lokasi di daerah Kabupaten Bandung dengan jenis pendidikan keagamaan yaitu pesantren dan jenjang sekolah menengah (MTs). Penelitian ini dilakukan di MTs Pesantren 3 Pameungpeuk Persis dan MTs Pesantren Al Ihsan. Penelitian ini akan mendeskripsikan dan menganalisis data berkaitan dengan perencanaan strategik. Dalam konteks ini fokus penelitian mendeskripsikan dan menganalisis tentang masalah perumusan visi, misi dan nilai-nilai, telaah lingkungan strategik, analisis strategik dan kunci keberhasilan serta penetapan tujuan, sasaran dan strategik organisasi (yang berisi kebijakan, program dan kegiatan).

B. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Di dalam penelitian kualitatif analisis yang digunakan lebih bersifat deskriptif-analitik yang berarti interpretasi terhadap isi, dibuat dan disusun secara sistemik atau menyeluruh dan sistematis. Artinya data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka, melainkan data tersebut berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, dokumen pribadi, catatan memo, dan dokumen resmi lainnya. Sehingga yang menjadi tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah ingin menggambarkan realita empirik di balik fenomena secara mendalam, rinci dan tuntas. Oleh karena itu penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini adalah dengan mencocokkan antara realita empirik dengan teori yang berlaku dengan menggunakkan metode diskriptif.
Alasan peneliti menggunakan pendekatan ini karena data yang bersifat holistik, kompleks, dinamis dan penuh makna. Sehingga, kurang tepat data pada situasi sosial tersebut diperoleh dengan pendekatan kuantitatif.

C. Data dan Sumber Data
Menurut Lofland (dalam Moleong, 2006:47), sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Dalam penelitian ini yang akan dijadikan sumber data salah satunya adalah manusia yang dijadikan informan. Dikarenakan penelitian ini dilakukan pada lembaga pendidikan, tepatnya di MTs Pesantren Persis 3 Pameungpeuk dan MTs Pesantren Al Ihsan, maka dari itu yang menjadi informan yaitu, kepala madrasah tsanawiyyah sebagai pimpinan di pesantren, guru sebagai tenaga pendidik, kyai sebagai pemilik pesantren.
Informan diambil dari lingkungan pesantren. Informan dipilih berdasarkan karakteristik kesesuaian dengan data yang diperlukan yakni, Kepala Madrasah, guru dan Kyai. Informan tersebut, ditentukan dan ditetapkan tidak berdasarkan pada jumlah yang dibutuhkan, melainkan berdasarkan pertimbangan fungsi dan peran informan sesuai batas penelitian. Kategori subjek informan dalam penelitian ini adalah mereka yang terlibat langsung dalam proses perencanaan strategik.
Di dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan sampel acak, tetapi sampel bertujuan (purposive sample), (Moeleong, 2006: 224). Dalam penelitian ini untuk memperoleh data tidak ditentukan dari mana dan dari siapa peneliti memulai, tetapi bila hal tersebut sudah berjalan maka pemilihan berikutnya bergantung pada apa keperluan peneliti. Dengan demikian, teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik sampling bola salju yaitu mulai dari satu semakin lama semakin banyak.
D. Prosedur dan Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan dari dokumentasi dalam rangka mengumpulkan data-data untuk keperluan penelitian. Observasi dilakukan oleh peneliti untuk mengamati kegiatan informan dalam menyusun rencana strategik pesantren, terutama pada saat menelaah lingkungan strategik, proses analisis strategik dan menentukan faktor kunci-kunci keberhasilan serta penetapan tujuan, sasaran dan strategik organisasi (yang meliputi kebijakan, program dan kegiatan).
Wawancara dilakukan untuk memperoleh data informasi dari informan yang telah ditentukan melalui proses tanya jawab seputar masalah yang dijadikan fokus penelitian, dalam hal ini peneliti akan membuat panduan pertanyaan sederhana yang akan diajukan kepada narasumber. Kemudian langkah lainnya yang digunakan adalah mencari data dari data tertulis, berupa: arsip, buku-buku, surat, buku catatan harian dan lain-lain. Hal ini dilakukan untuk menunjang data yang diperoleh di lapangan.

E. Analisis Data
Kegiatan dalam analisis data dalam penelitaian ini, yakni: pertama, kegiatan reduksi data (data reduction), pada tahap ini peneliti memilih hal-hal yang pokok dari data yang didapat dari lapangan, merangkum, memfokuskan pada hal-hal yang penting dan dicari tema dan polanya. Proses reduksi ini dilakukan secara bertahap, selama dan setelah pengumpulan data sampai laporan hasil. Penulis memilah-milah data yang penting yang berkaitan dengan fokus penelitan dan membuat kerangka penyajiannya.
Kedua, penyajian data (data display), setelah mereduksi data, maka langkah selanjunya adalah mendisplay data. Di dalam kegiatan ini, penulis menyusun kembali data berdasarkan klasifikasi dan masing-masing topik kemudian dipisahkan, lalu topik yang sama disimpan dalam satu tempat, masing-masing tempat dan diberi tanda, hal ini untuk memudahkan dalam penggunaan data agar tidak terjadi kekeliruan.
Ketiga, data yang dikelompokan pada kegiatan kedua kemudian diteliti kembali dengan cermat, dilihat mana data yang telah lengkap dan data yang belum lengkap yang masih memerlukan data tambahan dan kegiatan ini dilakuakan pada saat kegiatan berlangsung.
Keempat, setelah data dianggap cukup dan telah sampai pada titik jenuh atau telah memperoleh kesesuaian, maka kegiatan yang selanjutnya yaitu menyusun laporan hingga pada akhir pembuatan simpulan.
Analisis data dalam penelitian kualitatif menggunakan metode induktif. Penelitain ini tidak menguji hipotesis (akan tetapi hipotesis kerja hanya digunakan sebagai pedoman) tetapi lebih merupakan penyusunan abstraksi berdasarkan data yang dikumpulkan. Analisis dilakukan lebih intensif setelah semua data yang diperoleh di lapangan sudah memadai dan dianggap cukup, untuk diolah dan disusun menjadi hasil penelitian sampai dengan tahap akhir yakni kesimpulan penelitian.

F. Pengecekan Keabsahan Data
Di dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen adalah peneliti itu sendiri. Oleh karena itu peneliti sebagai intrumen juga harus “divalidasi” seberapa jauh peneliti kualitatif siap melakukan penelitian yang selanjutnya terjun ke lapangan. Selanjutnya setelah fokus penelitian menjadi jelas, maka akan dikembangkan intrumen penelitian sederhana, yang diharapkan dapat melengkapi data dan membandingkan dengan data yang telah ditemukan melalui observasi dan wawancara. Adapun yang melakukan validasi adalah peneliti sendiri.

G. Jadwal Penelitian
Perencanaan jadwal penelitian ini adalah 6 bulan, terhitung dari bulan Januari hingga bulan Juni, dengan tahap-tahap penelitian seperti pada tabel berikut:

Kegiatan Januari Februari Maret April Mei Juni
1. Sebelum Ke Lapangan
– Studi Lapangan
– Pengajuan Proposal Penelitian
– Pembuatan Instrumen Penelitian
Di Lapangan
– Pengumpulan Data
– Reduksi dan Display Data
– Analisis Data
– Pengecekkan Keabsahan Data
Setelah dari Lapangan
– Penyelesaian Laporan Akhir Penelitian

IV. TEMUAN HASIL PENELITIAN
A. Temuan Hasil Penelitian
Berikut ini merupakan beberapa di antara temuan hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan implementasi manajemen strategi dan peningkatan mutu pesantren.

NO Penulis dan Tahun Judul Penelitian Hasil
1 Brantas (2012) Implementasi Manajemen Strategik Pendidikan Tinggi Kepariwisataan Berbasis Pelanggan (Studi kasus pada Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung) Dalam mencapai visi, misi, STP menjadi yang terdepan di antara pesaing melalui upaya membangun sdm yang profesional dan berkualitas internasional di bidang keparwisataan, baik pada pihak pengelola maupun lulusan STP bandung telah memiliki tingkat profesionalisme yang memadai dalam aspek pengetahuan, keterampilan dan perilaku sesuaid engan tugas dan fungsinya yang dilandasi oleh nilai-nilai yang dikembangkan oleh stp. . pelaksanaan implementasi manajemen strategi di stp bandung dalam rangka menuju perguruan tinggi pariwisata kelas dunia secara keseluruhan telah dilaksanakan dengan baik, tetapi belum dapat mengantarkan STP bandung menuju PT yang berkelas dunia.
2 Endjang Naffandy (2011) Manajemen Strategik Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat III dalam Pengembangan Kualitas Pejabat Struktural Eselon 3 (Suatu Studi di Badan Diklat Daerah Provinsi Jabar) Hasil penelitian menunjukkan bahwa program diklatpim III telah sesuai dengan visi, misi dan strategi lembaga, training needs untuk kebutuhan pengembangan SDM dilihat dari tuntutan formasi organisasi dan tuntutan tugas dalam penyelenggaraannya belum ada perencanaan yang matang, hanya disusun dalam perencanaan jangka pendek untuk setiap program diklatpim III, evaluasi diklatpim III dilakukan sesudah program berakhir, tidak dimulai sejak perencanaan dan tidak dilakukan evaluasi hasil kepada para alumni diklatpim III, faktor-faktor yang mendukung penyelenggaraan diklatpim III meliputi SDM, peserta, kurikulum, sarana dan prasarana, dan dana, fator penghambat antara lain: kebijakan pola “duduk didik” dan tidak dilakukan uji kompetensi dalam penempatan jabatan
3 Latifah (2013) Efektivitas Manajemen Mutu Pesantren (Studi Kasus pada pesantren yayasan bhakti sarjana dan pemuda babakan, pesantren kebon jambu al-islamy dan pesantren alikhlas di babakan caringin kabupaten Cirebon periode 2005-2010) Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya variasi (perbedaan dan persamaan) dalam visi, misi serta perencanaan, pelaksanaan, koordinasi dan kendali mutu manaejemen pesantren di tiga pesantren. Dari variasi ini, merekomendasikan sebuah model strategi hipotetik aplikasi tqm dalam upaya mengembangkan manajemen mutu pesantren. Dalam pelaksanaannya model ini memegang teguh prinsip manajemen berbasis spiritual. Model ini kiranya dapat dijadikan acuan bagi pengembangan mutu pesantren terlepas dari latar belakang manajemen pesantren itu sendiri (konvensional, semi-modern dan modern).

B. Pembahasan Temuan Hasil Penelitian
Temuan hasil penelitian yang dilakukan oleh Brantas dan Endjang Naffandy erat kaitannya dengan penerapan manajemen strategi yang berujung pada pengembangan kualitas dalam suatu lembaga. Meskipun keduanya melakukan analisis tentang implementasi manajemen strategi pada lembaga yang memiliki karakteristik yang berbeda, namun terdapat pola kesamaan dalam penemuan dan identifikasi perencanaan strategiknya. Adapun kesamaannya meliputi unsur-unsur dalam formulasi strategi yang identik dengan perencanaan strategik yaitu meliputi perumusan visi, misi, nilai, scanning lingkungan yang meliputi kegiatan menganalisis lingkungan internal di antaranya analisis kekuatan dan kelemahan, menganalisis lingkungan eksternal di antaranya menganalisis peluang dan ancaman, setelah itu melakukan pembobotan dan penskoran terhadap analisis tersebut, sehingga dihasilkan sebuah kesimpulan analisis internal dan eksternal dan juga didapat sebuah prioritas serta analisis faktor-faktor yang mendukung keberhasilan, yang dalam usulan penelitian ini penulis sebut dengan proses telaah strategi. Tahap akhir dari perencanaan strategi yakni menentukan strategi sesuai dengan hasil penentuan prioritas pada tahap sebelumnya yang dalam penelitian ini tertuang dalam penentuan tujuan, sasaran dan strategi organisasi (yang berisi kebijakan, program dan kegiatan).
Sedangkan pada hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Latifah memang tidak berfokus pada analisis manajemen strategi atau perencanaan srategik seperti halnya yang dilakukan pada kedua hasil penelitian sebelumnya dan juga yang akan dilakukan pada penelitian ini, namun penulis bertumpu pada objek penelitiannya yakni pesantren. Penulis mendapatkan pengetahuan terkait dengan manajemen pesantren baik pada pesantren yang konvensional, semi-modern maupun pesantren yang modern. Penelitian ini pun menekankan faktor manajemen mutu untuk pengembangan kualitas pesantren.

V. KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Pesantren merupakan jenis pendidikan keagamaan yang mengalami perkembangan yang signifikan. Dari sejak lama pesantren menjadi lembaga pendidikan yang memiliki kontribusi yang sangat besar dalam rangka berpartisipasi mencerdaskan kehidupan bangsa. Adapun fenomena saat ini, tidak sedikit orang tua sebagai pelanggan pendidikan menentukan alternatif pilihan pendidikan bagi anak-anaknya pada pesantren, hal ini dikarenakan motif orang tua yang ingin menyelamatkan generasi penerus dari degradasi moral yang banyak terjadi saat ini. Dengan keunikan yang dimiliki, pesantren memiliki daya tarik tersendiri untuk diteliti dalam berbagai hal. Memperhatikan manajemen yang semakin berkembang saat ini, maka penulis pun termotivasi untuk melakukan penelitian tentang manajemen yang ada di pesantren.
Tugas dan Fungsi dari pimpinan pendidikan adalah membuat perencanaan jangka panjang yang mampu membawa lembaga berpandangan jauh ke depan. Hal ini dilakukan dengan cara terlebih dahulu menentukan visi, misi lembaga kedepan, menganalisis lingkungan internal dan eksternal serta menyadari peluang dan ancaman ke depan. Proses demikian merupakan bagian dari manajemen strategik organisasi. Jika tidak ingin tetap berjalan di tempat, maka pesantren harus menyesuaikan diri dengan perubahan dan memiliki strategi untuk mencapai tujuan. Berdasarkan hasil studi pendahuluan, ditemukan suatu fenomena bahwa pesantren Persis dan Pesantren Al Ihsan telah memiliki rencana strategis, namun dalam proses perumusan strategi teridentifikasi belum begitu optimal sehingga belum menghasilkan rencana strategis yang ideal.
Maka dari itu, berangkat dari hal tersebut penulis berkeinginan untuk melakukan sebuah penelitian tentang manajemen strategik di kedua pesantren tersebut dengan fokus penelitian tentang perencanaan strategik. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Dalam proses penggalian datanya menggunakan teknik purposive sampling. Sedangkan dalam pengumpulan datanya peneliti menggunakan metode wawancara, observasi dan dokumentasi. Adapun analisis data dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan reduksi data, lalu mendisplay data, setelah itu pengelompokkan data, lalu penyusunan laporan. Pengecekkan keabsahan data dilakukan dengan dikembangkannya intrumen penelitian sederhana, yang diharapkan dapat melengkapi data dan membandingkan dengan data yang telah ditemukan melalui observasi dan wawancara.

DAFTAR PUSTAKA
___________. (2010). Rencana Strategik Kementrian Agama Republik Indonesia (2010-2014). Jakarta: Tidak Diterbitkan.
Agung, Julianto. (2003). Manajemen Strategis. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
Akdon. 2009. Strategik Management For Educational Management (Manajemen Strategik untuk Manajemen Pendidikan). Bandung: Alfabeta.
Brantas. (2012). Implementasi Manajemen Strategik Pendidikan Tinggi Kepariwisataan Berbasis Pelanggan (Studi kasus pada Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung). Bandung: Tidak Diterbitkan.
Endjang Naffandy. (2011). Manajemen Strategik Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat III dalam Pengembangan Kualitas Pejabat Struktural Eselon 3 (Suatu Studi di Badan Diklat Daerah Provinsi Jabar): Bandung: Tidak Diterbitkan.
Hunger, J. David dan Wheelen, Thomas. L. (1996). Strategi Management 5th Edition. Florida: Addison-Wesley Publishing Company.
Latifah. (2013). Efektivitas Manajemen Mutu Pesantren (Studi Kasus pada pesantren yayasan bhakti sarjana dan pemuda babakan, pesantren kebon jambu al-islamy dan pesantren alikhlas di babakan caringin kabupaten Cirebon periode 2005-2010). Bandung: Tidak Diterbitkan.
Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: ROSDAKARYA.
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan dan Pendidikan Keagamaan.
Pidarta Made. (2005). Perencanaan Pendidikan Partisipatori dengan Pendekatan Sistem. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Suharsaputra, Uhar. (2010). Administrasi Pendidikan. Bandung: Refika Aditama.
Tim Dosen Administrasi Pendidikan. (2009). Manajemen Pendidikan. Bandung: ALFABETA.
Tim Dosen Jurusan Administrasi Pendidikan. (2010). Pengelolaan Pendidikan. Bandung: Jurusan Administrasi Pendidikan.
Tim Penyususn Renstra. 2010. Delapan Langkah Penyusunan Rencana Strategik Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota panduan Bagi Tim Penyusun Renstra. Jakarta: Tidak Diterbitkan.
Udin S. Sa’ud. 2005. Perencanaan Pendidikan Suatu Pendekatan Komprehensif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Umar, Husein. 2008. Strategik Management in Action. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

“Aku Mencintaimu Dalam Diam”

Sesungguhnya yang
mendatangkan rasa cinta ini, yang
mendatangkan rasa kagum ini,
yang memekarkan hati ini adalah
dari-Nya.
Sungguh aku hanya bisa
menerimanya. Aku hanya bisa
pasrah tertegun tak bisa
mengelak atas perasaan ini
padamu.

Tertegun dalam keindahan
akhlakmu. Tertegun dalam
manisnya lisanmu. Tertegun
dalam tenangnya pandanganmu.
Dan tertegun pula dalam
kesejukan nasehatmu. Semua
begitu sempurna, sungguh
sempurna. Sesempurna sesuai
firman-Nya.

Aku yang mengagumimu dalam
diam. Utuh tak tersentuh. Seperti
mentari yang menyapa bunga-
bunga bermekaran. Tak pernah
menyentuh namun cintanya
terasa bagi kuntum-kuntum
bunga yang sedang bermekaran
itu.

Karena aku mengagumi maka
izinkan aku tak mengusik
khusyunya ibadahmu. Izinkan aku
tak mengusik ketenangan hatimu.

Tak mengapa aku tak bertegur
sapa denganmu. Cukuplah bagiku
menyapamu dalam doa-doaku.
Cukuplah bagiku tersenyum lezat
melihatmu bahagia.
Cukuplah
bagiku menyebut namamu dalam
hamparan sajadahku.
Aku yang tersentuh akhlak
muliamu, aku yang terkagum lekat
dalam sikapmu, mencintaimu
dalam diam mungkin lebih baik
bagi diriku dan dirimu.
Lebihmulia bagi perasaanku dan
perasanmu. Lebih menjaga
kehormatanmu. Lebih menjaga
kemuliaanmu. Maka izinkan aku,
hai engkau yang begitu mulia,
izinkan aku mencintaimu dalamn
keikhlasan karena aku tak pernah
tau apakah engkau yang tercatat
dalam lauful mahfudz untukku?

Karena aku tak pernah tau adakah
balasan darimu untukku. Biarlah
kuasa Allah yang menggerakan
hatimu untukku.

Bukan karena mencintaimu
dengan diam aku akan menderita.
Bukan karena mengagumimu
dengan diam aku akan merana.

Namun, ketika ku artikan cinta itu
pada sisi kehadiran dan
kebersamaan denganmu. Maka itu
lah penderitaan yang
sesungguhnya.

Aku yang mencintaimu dari
kejauhan. Walaupun sungguh aku
merasa sangat dekat denganmu.
Biarlah aku dekap rapat
perasaanku ini. Biarlah aku tutup
rapat hingga Allah mengizinkan
pertemuan kita.
Namun jika
memang engkau bukan tercatat
untukku. Jika memang engkau
hanya hiasan duniaku yang
sementara, sungguh aku yakin
Allah akan menghapus cinta
dalam diamku padamu.
Allah akan menghilangkan perasaanku
untukmu. Dia akan memberikan
rasa yang lebih indah pada orang
yang paling tepat. Begitulah
kuasa-Nya. Begitulah Dzat yang
membolak-balika n hati hamba-
Nya.

“Ketika aku tak lagi terkagum
denganmu, maka pahamilah
jejakku.. Karena mungkin, aku
pernah menulis tentangmu dan
meyapa namamu dalam tiap
untaian doaku”